kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.932.000   -33.000   -1,68%
  • USD/IDR 16.605   3,00   0,02%
  • IDX 6.767   17,72   0,26%
  • KOMPAS100 979   5,15   0,53%
  • LQ45 762   4,33   0,57%
  • ISSI 215   0,81   0,38%
  • IDX30 395   2,48   0,63%
  • IDXHIDIV20 471   1,18   0,25%
  • IDX80 111   0,53   0,48%
  • IDXV30 115   0,73   0,63%
  • IDXQ30 130   0,90   0,70%

Wenny tak ragu hadapi pemalsu


Sabtu, 12 September 2015 / 10:05 WIB
Wenny tak ragu hadapi pemalsu


Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi

Meski usianya relatif muda, asam garam dunia usaha telah dirasakan oleh Wenny Sulistiowaty Hartono. Perempuan 39 tahun ini benar-benar merintis bisnisnya dari nol. Berbagai pengalaman pun terus menempanya hingga mencapai titik sukses seperti saat ini.

Berawal dari 1998, Wenny yang saat itu masih kuliah di Universitas Satyawacana, Salatiga, punya keinginan berbisnis. Dia yang suka bidang kerajinan, membuat bingkai foto dari bahan-bahan alami dan menjualnya. Melihat respons pasar baik, Wenny yang sebenarnya harus menggarap skripsi, justru makin serius menekuni usahanya. Dia rutin ikut pameran di Citraland Mall, Semarang. “Sewa tempatnya Rp 1,75 juta, jumlah yang tidak kecil buat saya waktu itu,” kenang perempuan kelahiran Purwokerto ini.

Langkah Wenny mengikuti pameran cukup tepat. Sebab, banyak pebisnis asing, yang menginap di Hotel Ciputra, melirik produknya. “Padahal, tujuan mereka sebenarnya adalah berburu furnitur di Jepara,” kata dia. Dari buyer furnitur itulah, dia mendapat pesanan.  Dari frame foto, buyer juga menginginkan Wenny untuk mencari barang kerajinan lainnya. Salah satunya adalah tas anyaman rotan. Dia pun mencari perajin tas bahan alami ini di Yogyakarta.    

Seiring kepercayaan yang diberikan dari para buyer, bisnis tas Wenny membesar. Setiap bulan dia mengirimkan beragam produk tas dari bahan alami ini ke sejumlah negara. Buntutnya, dia melihat tas yang meniru desainnya banyak beredar di pasar, Wenny pun berpikir membuka pabrik sendiri. “Saya tidak ingin kehilangan kepercayaan dari buyer karena itu desain mereka,” kata Wenny yang kemudian membuka pa-briknya di Semarang.

Selama tujuh tahun memenuhi pasar ekspor, Wenny menimba banyak pelajaran, mulai dari produk yang dikembalikan oleh buyer hingga kendala produksi, seperti kesulitan memperoleh bahan baku. Belum lagi, pengolahan bahan alam juga relatif sulit. Maklum, “Sinar matahari sangat berpengaruh pada warna,” kata dia.

Dari berbagai masalah itu, terbersit niatnya untuk memproduksi tas merek sendiri dengan target pasar konsumen domestik. Sebagai solusi bahan baku, dia menggunakan bahan kain dengan tetap mempertahankan anyaman sebagai ciri khasnya.


Sebar undangan
Tak disangka, tas anyaman kain ini diminati oleh kliennya dari Jepang. Wenny pun berubah pikiran. Dia memproduksi tas barunya untuk konsumennya di Jepang, sembari melihat pasar produk serupa di Indonesia. Saat itu, dia juga tetap menerima order tas berbahan alami yang mengalir ke pabriknya.

Pada 2012, Wenny mengakhiri pengirimannya ke Jepang karena ingin fokus menggarap pasar domestik. “Saya ingin, Indonesia juga punya produk yang bisa dibanggakan ketika turis membawanya sebagai buah tangan,” kata istri Budi Usodo ini.

Wenny yang sangat paham akan kualitas produk pun segera mengambil strategi pemasaran khusus untuk Webe. Dia tak menjual Webe secara langsung lewat toko atau reseller. Pembelian Webe dilakukan lewat undangan. “Jadi, saya mengundang konsumen potensial untuk datang langsung ke pabrik di Kawasan Industri Gatot Subroto,” jelas Wenny. Dia pun menyebarkan undangan mulai dari kalangan artis hingga ibu-ibu pejabat.

Cara itu dilakukannya juga karena dia ingin mengangkat Kota Semarang dengan produk kerajinan. Maklum, selama ini, banyak orang beranggapan bahwa barang kerajinan hanya diproduksi di Yogyakarta.   

Setelah produk Webe cukup dikenal, Wenny membuka gerainya di Semarang pada 2012. Lokasi gerai menyatu dengan pusat oleh-oleh, Kampung Semarang, yang juga baru berdiri bertepatan dengan pembukaan showroom Webe.

Tak disangka, sambutan pasar sangat bagus. Tas Webe yang khas dengan anyaman dan warna-warna cerah laris manis. Bahkan, ada beberapa pengunjung yang memborong tas dalam jumlah besar. “Saya benar-benar tidak menduga, antara senang dan takut, mau dibawa ke mana tas saya,” kata Wenny.

Setelah mendapat informasi tentang para pemborong tasnya, Wenny menawari mereka untuk menjadi top reseller di beberapa kota. Penjualan Webe pun terus melambung, seiring nama Webe yang berkibar sebagai merek tas kelas atas.

Tapi, kondisi ini memancing produsen tas lain untuk membuat produk palsu Webe. Wenny pun kesal ketika mendapati tasnya dipalsu dan dijajakan di Mangga Dua, Jakarta. “Saya tahu persis, mana produk asli Webe dan tiruan dari luar negeri,” kata Wenny.

Bahkan, lanjut Wenny, pedagang yang ditemuinya sampai bisa menjelaskan informasi  keliru soal asal usul nama Webe. “Mereka tidak tahu kalau yang di hadapan mereka ini, adalah pemilik Webe,” kenang Wenny.

Tak berhenti di situ. Lantaran banyak penggemar Webe, ada beberapa pihak yang bermain harga. “Saat itu, banyak pula isu bertebaran tentang Webe,” tambah Wenny. Bukannya berkecil hati, berbagai masalah tersebut semakin mematangkan kemampuannya berbisnis. Wenny mengaku banyak belajar dari pengalaman,  baik dalam hal produksi maupun pemasaran.

Dia pun menerapkan strategi pemasaran baru. Tak lagi mengadopsi konsep reseller, Wenny mengajak top reseller untuk membuka showroom resmi Webe. Sejak 2014, Wenny membuka official shop di sejumlah kota sebagai gerai penjualan Webe. “Jadi, kini Webe hanya dijual lewat toko,” kata ibu seorang putri ini. Selain koleksi tas wanita, Wenny juga melengkapi produknya dengan tas anak-anak berlabel Jocakids.

Dengan membuka gerai penjualan, Wenny mengaku penjualan produknya lebih stabil. Kini, saban bulan produksinya bisa mencapai ribuan tas. Harga tas Webe mulai Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×