Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Pemukiman sekitar Setu Babakan, Kecamatan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan tidak sekoyong-koyong menjadi kampung wisata Betawi. Usaha keras serta urun rembuk berbagai pihak mengiringi perjalanannya sebagai kampung budaya.
Asal tahu saja, Setu Babakan menjadi salah satu lokasi yang dipilih oleh pemerintah saat itu. Daerah lainnya, Kemayoran, Rorotan dan Srengseng.
Pemilihan area baru ini disebabkan kawasan Condet, Jakarta Timur yang waktu itu dijadikan area pelestarian buah-buahan Betawi tidak cukup lebar. Aset lahan pemerintah hanya sekitar 4.000 meter persegi.
Banyaknya pembangunan properti dua hingga tiga lantai pun mengurangi kenyamanannya. Lagipula, disana banyak tempat penampungan calon tenaga kerja asing.
Butuh waktu sekitar lima tahun untuk menetapkan Setu Babakan menjadi tempat edukasi dan pelestarian budaya Betawi. Sebelumnya, pada tahun 2000 silam para budayawan, organisasi, dan pemerintah mengkaji lokasi dengan mengadakan acara budaya.
Sukses mengundang ratusan pengunjung, mereka kian getol membuat event secara bersama. Melihat potensi, jumlah warga yang cukup, lokasi yang asri, membuat mereka sepakat untuk menjadikan lokasi tersebut sebagai kampung Betawi.
Berdasarkan riset KONTAN, lokasi ini resmi menjadi lokasi budaya Betawi pada 10 Maret 2005, melalui Perda DKI Jakarta Nomor 3 tahun 2005 yang berjudul Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah.
Seiring dengan disahkannya, luas areanya pun menjadi lebih luas dari awalnya hanya 165 ha menjadi 289 ha, dengan komposisi 26% dari luas lahan merupakan aset pemerintah.
Indra Sutisna, Kepala Pengelola Setu Babakan menjelaskan pertambahan aset pemerintah karena sebagian lahan warga dibeli untuk dijadikan proyek Kampung Betawi yang dibuat dalam bentuk museum.
Seiring dengan adanya proyek ini, kehidupan warga setempat kian baik. Mereka pun tidak melulu menjadi petani buah-buahan dilahannya sendiri atau menjadi tukang kayu.
Membatik, membuat dodol, bir pletok, sampai menjadi jurangan kontrakan menjadi mata pencaharian mereka. Perlahan namun pasti kesejahteraan ekonomi pun meningkat.
Tidak hanya itu, tak sedikit warga yang menjadi pegawai atau pengelola. Otomatis, dapat mengurangi jumlah pengangguran serta mengubah nasib dari petani menjadi karyawan.
Kemunculan universitas dan sekolah tinggi di sekitar lingkungan rupanya juga memberikan dampak positif. Cara berpikir dan karater warganya perlahan berubah. Pertama, mereka kian melek akan pendidikan sehingga anak-anaknya diminta untuk mendapatkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Kedua, mereka lebih peduli dengan budaya. Contohnya, anak-anak mulai belajar tarian betawi, silat, pantun, dan lainnya. " Budaya yang tidak hilang adalah saling menegur kepada siapapun yang lewat depan rumah," katanya pada KONTAN.
Seluruh budaya ini terus ditularkan kepada anak-cucu sehingga tidak punah. Bahkan, aktivitas ini yang banyak dicari oleh turis dalam ataupun luar negeri.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News