kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45930,39   2,75   0.30%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kampung nelayan Cilincing tempat bersandar 150 nelayan (bagian 1)


Sabtu, 31 Agustus 2019 / 10:05 WIB
Kampung nelayan Cilincing tempat bersandar 150 nelayan (bagian 1)


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Trok... tok... tok... tok..., suara bising seperti ini sangat akrab bagi penduduk di kawasan Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara. Ya, suara itu merupakan bunyi khas mesin perahu tradisional para nelayan yang mungkin tidak akrab di telinga warga perkotaan.

Masyarakat di pesisir utara Jakarta menyebutnya dengan mesin klotok, bagi mesin penggerak kapal-kapal yang bersandar di kampung mereka. "Ya beginilah kondisinya setiap hari dan saya sudah biasa mendengarnya. Buat yang belum terbiasa, ya, pasti bunyinya terasa berisik," ucap Pepeng, warga di Kampung Nelayan saat membuka obrolan dengan KONTAN.

Menurut Pepeng ada sekitar 150-an kepala keluarga yang menggantungkan penghidupan sebagai nelayan di tempat ini. Termasuk juga dirinya.
Pepeng sudah puluhan tahun menjalani profesi sebagai nelayan. Ia sudah terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu wilayah perairan satu ke perairan lain, dan bersandar dari satu dermaga ke dermaga lain.

Hamparan laut, deburan ombak, dan angin kencang, dan badai jadi teman akrabnya. Dan sejak 1992, ia menyandarkan kapalnya di Kampung Nelayan Cilincing dan bertahan hingga kini.

Tak hanya Pepeng, ratusan nelayan di Kampung Nelayan Cilincing juga punya pengalaman serupa. Bermula dari hanya menyandarkan kapal, akhirnya mereka betah dan akhirnya menggantungkan hidup di tempat ini. Kampung sederhana ini tak hanya menjadi sandaran kapal, tapi juga sandaran penghasilan, penggerak perekonomian bagi sudut pesisir ibukota.

Dua tahun terakhir sehari-hari Pepeng lebih banyak berjualan ikan hasil tangkapan nelayan lain di Kampung Nelayan Cilincing, walhasil ia lebih jarang melaut. Ia menjajakan aneka ikan laut, cumi, sotong, serta berbagai jenis dan ukuran udang.

Pepeng menyortir hasil tangkapan tersebut sebagian dijual di lapak sendiri, sebagian lagi dijual ke pelelangan ikan. Pepeng juga bekerja di gudang hasil tangkapan ikan.
"Ini punya bos sebagai tempat penampungan hasil tangkapan. Beberapa nelayan juga setor ke sini untuk dijual ke konsumen," jelas Pepeng yang juga menyebut tidak semua nelayan menjual hasil tangkapannya secara mandiri.

Berbeda dengan Sukardi, penduduk Kampung Nelayan yang masih aktif melaut dan memasok hasil tangkapannya ke gudang penampungan atau pemasok. "Setiap hari hasil tangkapan setor ke lapak bos. Apapun dan berapa pun hasil tangkapannya harus disetor," ujarnya.

Di tempat penampungan, ia menjual aneka ikan laut dan udang seharga Rp 40.000 - Rp 80.000 per kg, sedangkan untuk cumi paling murah Rp 40.000 per kilogram.
Beberapa komoditas seperti udang dan ikan ada yang dijual dalam kondisi beku dan sudah bersih. Tentu harga yang dipatok berbeda dari tangkapan segar.

Setelah nelayan menjual ke pemasok, biasanya si pemasok baru membawa ke tempat pelelangan ikan (TPI) yang jaraknya sekitar 500 meter dari gudang.
"Kebanyakan nelayan menjual ke lapak pelelangan dan sebagian kecil ke gudang penampungan," kata Sukardi yang menyebut ada selisih harga antara yang dijual nelayan dan pelelangan.     

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×