kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Cerahnya prospek bisnis rumah sakit ibu dan anak


Rabu, 22 Oktober 2014 / 14:20 WIB
Cerahnya prospek bisnis rumah sakit ibu dan anak
ILUSTRASI. Makanan dan Minuman yang Mengandung Kalsium Tinggi


Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi

Meski tidak tercantum sebagai kebutuhan pokok, kesehatan merupakan masalah vital bagi manusia. Setiap manusia ingin selalu sehat supaya bisa melakukan aktivitas dan rutinitas sehari-hari. Apalagi, bagi yang sedang sakit, mereka ingin segera sembuh dengan berobat ke dokter atau rumah sakit .

Lantaran menjadi kebutuhan vital, tak heran, industri rumah sakit  terus bertumbuh. Prospek dan peluang bisnis rumah sakit  pun masih bagus, mengingat jumlah penduduk yang terus berkembang. Cucu Setiawan, pemilik RSIA Insan Permata, pun meyakini prospek cerah ini karena pertambahan penduduk selalu sebanding dengan kebutuhan kesehatan.

Tak heran, setelah sepuluh tahun bergelut dalam dunia kesehatan, Cucu, yang juga berprofesi sebagai dokter, mengembangkan klinik dan rumah bersalin miliknya menjadi rumah sakit . “Saat itu memang ada tuntutan dari masyarakat untuk meningkatkan rumah bersalin menjadi rumah sakit ,” terang Cucu, mengenang.

Sedikit menengok ke belakang, sebagai dokter, Cucu mengawali kiprahnya dalam bisnis dunia kesehatan ini dengan membuka praktik pribadi sejak 1998. Sementara istrinya, Riesnita Yuniar Rachmiati, membuka praktik bidan swasta yang berlokasi di kediamannya, Jalan Bhayangkara 1, Pakujaya, Tangerang, Banten.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan layanan kesehatan, pada 2004, Cucu mengembangkan praktik bidan istrinya menjadi rumah bersalin. “Saya yang semula praktik di Rumah Sakit Bhakti Asih, bergabung di sini untuk memberikan layanan poli umum,” jelas Cucu.

Karena berkembang sesuai kebutuhan kesehatan masyarakat di sekitar rumah sakit , Cucu pun menyebut rumah sakit nya sebagai rumah sakit  tumbuh. Secara bertahap pula, dia membeli lahan-lahan di sekitar rumah sakit nya dan mendirikan gedung-gedung baru.

Pada tahun 2010, rumah bersalin itu berganti status sebagai rumah sakit  ibu dan anak (RSIA), tentu dengan penambahan sejumlah fasilitas dan layanan kesehatan.

Kini, selain memberikan pelayanan berkaitan dengan kelahiran dan poli umum, RSIA Insan Permata juga menyediakan kamar operasi, laboratorium, rontgen, dan lainnya. Dokter yang berpraktik di rumah sakit  seluas 2.000 m2 ini juga lebih lengkap, seperti poliklinik gigi, THT, kulit kelamin dan kecantikan, pusat khitan, dan lainnya.

Saban bulan, Cucu bilang, ada sekitar 3.000 hingga 5.000 pasien yang datang untuk melakukan pemeriksaan kesehatan/rawat jalan di rumah sakit nya. Dari jumlah itu, ada yang kemudian dirujuk untuk menjalani rawat inap. Yang pasti, rata-rata tingkat hunian kamar-kamar rawat inap mencapai 70%.

Untuk rawat inap, Insan Permata menyediakan 45 tempat tidur yang terbagi dalam beberapa kelas, mulai dari kelas 3, kelas 2, kelas 1, VIP dan VVIP. Untuk rawat inap, tarif harga per kamar mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 600.000.

Sayang, Cucu enggan menyebutkan omzet maupun keuntungan yang diperoleh dari bisnis rumah sakit  ini. “Yang terpenting bagi kami adalah memberikan pelayanan terbaik untuk pasien,” ungkap dia.

Pengusaha lain yang sukses mendirikan rumah sakit  ialah Bambang M. Roeslan. Awalnya, Bambang mendirikan Klinik dan Rumah Bersalin Bina Medika di Bekasi, Jawa Barat. Dalam pengembangannya, klinik tersebut berkembang menjadi RS Permata Bunda.

Ekspansi rumah sakit  ini cukup gencar sejak dia menawarkan waralaba pada 2010. “Sekarang, kami punya tujuh cabang rumah sakit ,” ujar Bambang.

Senada dengan Cucu, Bambang menuturkan, bisnis rumah sakit  punya prospek yang cerah. Meski pemerintah terus mengupayakan tempat pelayanan kesehatan, tapi kebutuhan tumbuh lebih cepat.

Mengutip data BPS, misalnya. Dari total penduduk yang ada di Bekasi dan Tangerang, tingkat kunjungan untuk berobat masyarakat masih 20%. Total biaya kesehatan yang dikeluarkan sebesar Rp 3,1 triliun per tahun. “Penambahan tempat pelayanan kesehatan masih sangat diperlukan,” tegas Bambang.

Namun, untuk merintis bisnis rumah sakit , Bambang berpesan agar investor menganalisis pasar terlebih dulu. “Pemilik harus tahu siapa yang mau dibidik, lantas perhatikan apakah segmentasi pasarnya masuk atau tidak. Jangan lupa analisis perilaku pasar yang mau disasar, apakah mereka medical minded atau tidak,” ujarnya.

Setelah data terkumpul, yang tak kalah penting ialah membuat feasible study, berikut simulasi dengan asumsi versi optimistis dan realistis. “Hal ini penting dibuat agar pada saat versi optimistis tak tercapai, program contingency plan-nya sudah ada.

Setelah hal itu sudah clear, baru dibuat objektif: strategi dan action plan yang bergaris lurus dengan visi dan misi serta motto perusahaan,” terang pria 56 tahun ini.

Bambang bilang, untuk terjun di bisnis rumah sakit  memang tidak mutlak harus punya latar belakang medis. Bambang sendiri merupakan tenaga ahli di bidang marketing beberapa perusahaan farmasi. “Sebagai stake holder, sebaiknya berlatar belakang medis, tapi share holder tidak harus. Buktinya, pemilik Siloam Group bukan dokter,” jelas dia.


Tenaga medis andal

Namun, jika pemilik bukan orang yang berlatar belakang dunia medis atau berprofesi sebagai dokter, rumah sakit  harus mampu menarik sumber daya manusia (SDM) alias dokter dan para medis yang andal. “Karena SDM seperti dokter inilah yang akan menarik pasien datang ke rumah sakit ,” kata Cucu yang kini mempekerjakan 200 SDM, di luar dokter.

Inilah yang sering menjadi permasalahan bagi rumah sakit  baru. Pasalnya, mereka harus pandai menarik minat dokter yang sudah punya nama untuk bergabung di rumah sakit nya. “Padahal, masalah SDM ini susah, pemilik harus menawarkan benefit lebih untuk mendapatkan dokter andal,” jelas Cucu menengok pengalamannya.

Jika pada tahap awal pasien yang datang sudah ramai, kondisi ini sangat meringankan rumah sakit . Maklum, biaya operasional rumah sakit  sangat tinggi. Sebaliknya, jika rumah sakit  sepi, tak hanya pemilik yang harus menggelontorkan modal lebih banyak, boleh jadi, tenaga medis akan berpaling dan pindah ke rumah sakit  lain.

Cucu punya tiga kriteria dalam merekrut SDM. Pertama, harus andal. Kedua, punya komitmen untuk waktu dan jam praktik di rumah sakit  itu. Ketiga, memiliki kesabaran.


Padat modal

Selain tenaga medis yang andal, yang harus diingat, rumah sakit  merupakan bisnis yang membutuhkan modal bernilai besar. Kebutuhan dana tidak cuma saat pembangunan. Biaya operasional rumah sakit  sehari-hari pun cukup tinggi.

Dalam hitungan Cucu, saat ini, untuk mendirikan rumah sakit  seperti Insan Permata butuh dana hingga Rp 45 miliar. Biaya yang cukup besar, di antaranya untuk pembelian lahan, pendirian bangunan dan pengisian perabot, perangkat dan peralatan medis dan lainnya.

Sementara itu, investasi yang dikeluarkan Bambang pada kurun 2003–2005 untuk beberapa jaringan atau cabang RS Permata Bunda sekitar Rp 45 miliar. Menurut perhitungannya, investasi untuk mendirikan rumah sakit  saat ini berkisar Rp 25 miliar, tidak termasuk pembelian tanah dan pengurusan izin. “Itu pun dengan syarat tanpa pemborong. Kalau memakai jasa pemborong, harganya bisa tambah 30%,” tutur dia.

Di Permata Bunda, kisaran pasien yang datang di tiap cabang rumah sakit mencapai 200 pasien per hari. Adapun karyawan Permata Bunda di tiap cabang mencapai 180 orang, baik medis dan non-medis.

Bambang mengaku, omzet bisnis ini cukup fluktuatif. Namun, ia menegaskan break even point (BEP) operasional rata-rata dalam waktu enam bulan tercapai. Sementara, return of investment (ROI) bisa tercapai berdasarkan pilihan investasi. Misalnya, properti kelas A dengan peralatan medis standar Eropa, maka ROI di atas lima tahun.

Akan tetapi, untuk program rancang bangun tumbuh atau bertahap, umumnya kurang dari lima tahun. “Bahkan ada yang mencapai ROI dalam waktu tiga tahun,” ujarnya.

Ia menambahkan, margin keuntungan dari bisnis rumah sakit  yang dia kelola rata-rata 15%. Adapun perincian kasar biaya, biaya tetap sebesar 50% dan variable cost 35%.

Ada beberapa tip yang diberikan Bambang untuk pengusaha yang tertarik melirik bisnis ini. Pertama, pergunakan konsultan yang profesional dan murah, tapi menguasai bisnis jasa kesehatan. Lalu, kedua, tetapkan dengan jernih visi, misi, dan moto perusahaan. Jangan lupa, survei lokasi berikut capture market-nya.

Selanjutnya, Bambang bilang, ketika mendirikan rumah sakit  di Bekasi, setidaknya ada 56 jenis tahapan yang harus ia lewati untuk mengurus perizinan. Waktu untuk mengurus izin relatif lama. “Untuk tiap jenis izin yang harus dimiliki, bisa memakan waktu enam bulan sampai setahun,” ucap dia.

Yang tak boleh dilupakan adalah membangun organisasi yang sederhana namun efektif dan efisien. “Harap diingat, bisnis rumah sakit  memiliki misi sosial. Jadi, pengusaha harus terus mengedepankan etika bisnis,” tambah dia.

Untuk memudahkan investor merintis bisnis rumah sakit , Bambang juga menawarkan paket waralaba. “Kami menawarkan paket waralaba untuk klinik dan rumah sakit  bersalin sebesar Rp 615 juta dan Rp 800 juta. Omzet mitra bisa mencapai Rp 131,2 juta per bulan,” kata Bambang.

Salah satu andalan RS Permata Bunda adalah kerjasama dengan banyak asuransi. “Kami bermitra dengan 90% asuransi dalam negeri. Ini jarang dimiliki rumah sakit  lain, khususnya yang fokus ke ibu dan anak,” ujar dia.                 


Menjaring pasien melalui asuransi

Keberadaan asuransi sebagai mitra rumah sakit  ternyata menguntungkan berbagai pihak, termasuk pasien dan rumah sakit . Dari sisi pasien, asuransi memudahkan mereka untuk mendapat layanan kesehatan. Pasalnya, asuransi menanggung biaya kesehatan. Sementara, dari sisi rumah sakit , asuransi jadi daya tarik bagi pasien.

Semakin banyak asuransi yang dijaring rumah sakit , maka peluang untuk mendapatkan pasien pun terbuka lebar. “Sekarang era asuransi, karena rata-rata pasien memiliki asuransi, jadi kami berusaha untuk bekerjasama dengan asuransi,” ujar Cucu Setiawan, pemilik RSIA Insan Permata.

Akan tetapi, rumah sakit  pun tak boleh sembarangan bermitra dengan asuransi. Pasalnya, ada beberapa asuransi yang malah merugikan. Bambang M. Roeslan, pemilik RS Permata Bunda, menuturkan ada beberapa asuransi yang sering terlambat membayar biaya kesehatan kliennya. “Bahkan ada yang sampai
6 bulan baru bayar. Saya juga pernah dapat kasus asuransi yang tak sanggup bayar sehingga tutup,” ucap dia.

Untuk menghindari itu, Bambang menyarankan agar rumah sakit  selalu melakukan pemantauan piutang. Pemilik RS juga harus selektif dalam menjalin kerjasama dengan pihak asuransi. Perhatikan jejak rekam asuransi tersebut.  Hingga saat ini, Permata Bunda bermitra dengan 90% asuransi swasta yang ada di dalam negeri. “Kami cut off asuransi yang mangkir dan kami imbau pasien untuk tidak lagi menggunakan asuransi itu karena kendala prosedur,” tukasnya.                                           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×