kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dedi mengupayakan standardisasi harga rajutan (3)


Rabu, 09 Maret 2011 / 13:22 WIB
Dedi mengupayakan standardisasi harga rajutan (3)
ILUSTRASI. Warga berjalan menggunakan payung saat turun hujan di Jakarta, Jumat (10/1/2020).


Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi

Para perajut di Kampung Binong Jati bisa memproduksi hingga 50 lusin rajutan setiap hari. Perputaran uang di sentra ini mencapai miliaran rupiah. Tapi, bukan berarti pusat produksi rajutan di Bandung itu sepi masalah. Kini, para perajut mengupayakan standardisasi harga untuk menjegal persaingan tidak sehat.

Menurut penghitungan terakhir tahun 2008, jumlah pengusaha rajut di Kampung Binong Jati, Bandung mencapai 400 orang. Namun, menurut Dedi Suherman, sekarang, angka itu sudah berkurang karena beberapa tetangganya yang dulu membuka usaha rajut, kini sudah gulung tikar.

"Dulu, rumah di depan dan samping rumah saya juga membuka usaha rajut tapi sekarang sudah tutup," kata Dedi sambil menunjuk ke arah dua rumah yang telah kosong melompong.

Para perajut di Kampung Binong Jati yang bangkrut biasanya terimpit harga bahan baku dan peralatan produksi, seperti benang, jarum, risetling, dan kancing yang terus membubung tinggi. Kemunculan produk rajut dengan harga miring buatan China juga memberi andil kebangkrutan.

Di sisi lain, para perajut yang masih bertahan malah mendapat limpahan pesanan. Soalnya, setelah beberapa tetangganya gulung tikar, Dedi mengambil alih order-order rajutan yang dulu masuk ke mereka.

Bisa dibilang, Dedi mampu melihat celah pasar yang kekurangan pasokan waktu itu. Sigapnya Dedi memanfaatkan peluang tersebut menjadikannya juragan rajut dengan pendapatan paling besar di Kampung Binong Jati dengan omzet mencapai Rp 200 juta per bulan.

Bicara soal persaingan, Dedi mengaku tidak begitu terpengaruh. Meski jumlahnya banyak, setiap rumah industri punya pelanggan masing-masing, baik pembeli tetap yang sudah langganan secara turun temurun maupun pelanggan baru. "Biasanya, para perajut memiliki pelanggan yang berbeda-beda," tutur Dedi. Meski kebanyakan pelanggan berasal dari Jakarta.

Dedi punya tiga pelanggan tetap di Jakarta. Ia mengirim 120 sampai 200 lusin aneka rajut ke ibukota. Sisanya, dia mengandalkan penjualan eceran atau grosir yang datang ke tempatnya.

Memiliki pelanggan tetap merupakan cara untuk mengurangi persaingan sesama perajut di Kampung Binong Jati. Sehingga, tidak akan terjadi upaya mengambil ladang usaha orang lain. "Inilah yang dijaga para perajut setempat, yakni perasaan senasib dan kekeluargaan yang terbilang erat," papar Dedi.

Tak mengherankan, Kampung Binong Jati bertahan lebih dari 30 tahun. Persaingan di sini sehat. Perajut yang mampu memproduksi banyak rajutan dan mempunyai pelanggan tetap bakal bertahan dan meraih pendapatan tinggi.

Sweter dan aneka rajutan lain bikinan Kampung Binong Jati memiliki kualitas unggul. Proses pembuatannya dilakukan dengan kontrol yang tinggi. "Meski dengan bantuan mesin, produk yang sudah sampai proses akhir tetap dicek lagi secara manual," imbuh Dedi.

Kalau ternyata hasil rajutan masih perlu perbaikan, para perajut akan langsung membetulkannya dengan tangan agar lebih rapi dan sempurna. Begitulah cara Dedi dan para perajut lain mempertahankan kualitas produknya supaya bisa bersaing dengan produk-produk rajut bikinan China.

Walau terlihat sempurna, masih ada beberapa hal yang perlu disepakati oleh para perajut. Terutama soal penentuan harga jual. "Harga jual tiap lusinnya masih berbeda-beda karena tidak ada standardisasi harga rajutan," keluh Dedi.

Persoalan ini membuat para pembeli kerap mencari harga yang lebih murah. Meski standardisasi harga ini masih belum menjadi persoalan besar, Dedi dan para perajut Kampung Binong Jati khawatir kalau bakal ada perajut yang menurunkan kualitas rajutan untuk mencari pembeli tetap yang lebih banyak.

Untuk menjembatani perbedaan harga yang ditetapkan para perajut di Kampung Binong Jati, Dedi bersama Paguyuban Rajut Muda Bandung terus mengupayakan dialog bersama dengan para perajut.

Namun, upaya ini masih belum membuahkan hasil. Hanya sedikit perajut yang merespon standardisasi harga ini. Tetapi, "Kami optimistis akan bisa terwujud soal standardisasi harga, asalkan kami terus melakukan komunikasi," ucap pemilik Mugs Collection ini. Dedi yakin dengan komunikasi yang baik, standardisasi harga bakal terwujud.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×