Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Era reformasi telah berlangsung selama 13 tahun, namun masih menyisakan semangat pada diri Dinny Jusuf. Salah satu aktivis perempuan ini tergerak mendirikan Suara Ibu Peduli, koperasi simpan-pinjam di daerah miskin di Jakarta. Tak berhenti di situ, ia juga membangun usaha Toraja Melo untuk mengangkat pamor kain tenun Toraja.
Berawal dari aktivitasnya sebagai pejuang hak-hak perempuan sejak tahun 1998, Dinny Jusuf bersama dengan Karlina Supeli membangun organisasi Suara Ibu Peduli. Organisasi itu mulai dirintis, tepatnya, ketika ada kenaikan harga susu yang meresahkan banyak ibu-ibu.
Tak hanya turun ke jalan dan berdemonstrasi, bersama aktivis perempuan lainnya, Dini juga memberikan pendidikan politik. "Tapi, ini tak berlangsung lama," kenang Dinny. Pendidikan politik, kata Dinny, tak banyak bermanfaat bagi perempuan yang memiliki tugas utama di rumah.
Pengalamannya yang sempat bekerja untuk Women's World Banking untuk urusan mikrokredit di Indonesia, mendorong Dinny mengalihkan kegiatan organisasi pada dunia ekonomi. Ia ingin memberi modal kepada perempuan-perempuan yang ingin memulai usaha.
Rupanya, Dinny terinspirasi oleh Mursia Zaafril Ilyas, seorang penggiat koperasi perempuan di Malang. "Saya terkesan dengan beliau yang mampu merangkul perempuan-perempuan Indonesia lewat koperasi," terang wanita yang hobi travelling di Indonesia ini.
Lantas, ia pun membangun koperasi simpan pinjam di Suara Ibu Peduli. Tak sekadar mendorong berdirinya koperasi simpan pinjam, Dinny juga mendampingi anggota dari Suara Ibu Peduli untuk belajar soal teknologi hingga memperkenalkan sebuah sistem kerja bagi perempuan-perempuan di organisasi itu. "Adanya sistem akan membuat mereka menjadi sosok yang profesional, jujur, tertib dan disiplin," papar Dinny.
Pendidikan ini ternyata mampu menggugah para perempuan di Suara Ibu Peduli menjadi mandiri. Kiprah anggota organisasi itu juga tak hanya di kandang, tapi juga telah dikenal masyarakat luas. "Banyak dari anggota kami yang telah menjadi pengajar dan pembicara di berbagai seminar dan penulis di media massa," ujar Dinny.
Kini, suara Ibu Peduli telah memiliki 600 anggota yang tersebar dalam 14 cabang di daerah miskin seputar Jakarta. Setelah 13 tahun berlalu, Suara Ibu Peduli pun menghadapi tantangan yang berbeda. "Maklum, dulu, belum banyak bank yang menawarkan kredit usaha kepada perempuan-perempuan, tapi sekarang telah menjamur dimana-mana," papar wanita yang kini menjadi anggota Dewan Penasihat Suara Ibu Peduli.
Pada tahun 2008, Dinny melepas Suara Ibu Peduli. Ia ingin menikmati hari tuanya di Toraja, Sulawesi Selatan yang menjadi kampung halaman sang suami.
Di tengah hari-hari menikmati masa pensiun, Dinny justru tergerak ketika melihat tenun-tenun Toraja. "Saya melihat kain tenun Toraja yang indah tidak mendapat penghargaan tinggi," katanya.
Ia melihat banyak kain tenun yang tergeletak begitu saja dan tak banyak perempuan Toraja yang terlihat menggunakan tenun sebagai pakaian mereka sehari-hari. "Kain tenun Toraja hanya dipakai saat melangsungkan upacara adat," ungkap Dinny. Kondisi ini menggugah jiwa Dinny untuk membuat sesuatu lewat kain tenun Toraja.
Sayang, ketika pertama kali memulainya, Dinny tak mendapat dukungan dari sang suami dan penduduk sekitar. "Bahkan, saya sempat diledek gila," katanya sambil tertawa.
Namun, Dinny tak berkecil hati. Niatnya sudah mantap untuk membawa tenun Toraja sebagai salah satu bahan pakaian yang kasual dan modern hingga mendapat banyak penggemar dari masyarakat Indonesia. Lantas, ia pun mendirikan usaha tenun kain Toraja bernama Toraja Melo yang berarti Toraja Indah.
Dinny menyadari kain tenun adalah bagian dari akar budaya tanah air yang perlu dibanggakan. Ia pun membidik pasar kaum menengah atas yang juga pecinta merek-merek dari luar negeri, sambil berharap mereka kembali mencintai produk dari dalam negeri.
Toraja Melo membuat berbagai produk dari tenun Toraja seperti, tas, gaun, sepatu hingga sandal dengan model yang mengikuti tren saat ini. Dinny menggandeng Dina Middiana, perancang busana, untuk menonjolkan karakter kain tenun Toraja yang feminin sekaligus maskulin.
Jiwa sosial Dinny pun kembali muncul, ketika melihat kondisi perempuan di sekitar rumahnya di Toraja. Peranan perempuan terbilang kompleks, yang dituntut menjadi seorang ibu di rumah sekaligus juga harus membantu perekonomian keluarga.
Ia pun kemudian melibatkan 100 perempuan penenun Toraja di wilayah Sa'dan, Toraja Utara. Niat Dinny tidak hanya sekedar menjadikan kain tenun Toraja kembali diproduksi dengan bagus dan massal. Mantan pegawai Citibank ini juga berharap, bisa mengangkat seni tenun Toraja. "Baik dari sisi teknik, mutu dan penggunaan kain. Bagi para perempuan penenun juga akan meningkatkan kesejahteraan mereka," ujarnya.
Usaha Dinny untuk kembali mengangkat kain tenun Toraja pun berbuah manis. Berbagai produk Toraja Melo bisa diterima pasar. Bahkan baru-baru ini, Dinny terlibat dalam acara fesyen bergengsi, yakni Jakarta Fashion and Food Festival yang digelar oleh salah satu pengembang properti ternama ibukota, akhir Mei lalu.
Tak ketinggalan, pada perhelatan itu, ia menjual produk Toraja Melo mulai dari Rp 750.000 hingga Rp 1,5 juta. Ia pun mampu mengantongi pendapatan hingga Rp 20 juta untuk setiap kali pameran berlangsung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News