Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi
Siapa sangka keputusan Slamet Triamanto untuk berwirausaha mengantarkannya menjadi pengusaha kerajinan eceng gondok yang sukses. Tak hanya itu, lelaki asal Desa Kebundowo, Banyubiru, Semarang ini juga berperan mengembangkan ketrampilan para pemuda putus sekolah di daerahnya untuk menjadi perajin enceng gondok.
Slamet Triamanto memang bukan pemuda kemarin sore. Meski usianya baru kepala tiga, ia sudah mengecap banyak asam garam dan kehidupan yang keras.
Lelaki asal Semarang, Jawa Tengah ini memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1988 silam. Hampir 16 tahun, Slamet melakoni semua pekerjaan di Ibukota, mulai dari kernet, sopir bus, buruh pabrik konveksi hingga menjadi pemulung.
Hingga akhirnya, Agustus 2003, Slamet mulai berpikir ulang untuk menetap di Jakarta. "Karena sudah memiliki anak, saya pikir pekerjaan memulung hanya untuk memenuhi perut saja, sedangkan tabungan dan uang pendidikan anak tidak jelas," ungkap dia.
Lantas, ia pun kembali ke kampung halamannya di Desa Kebundowo, Kecamatan Banyubiru. Sejatinya, Slamet mendapat tawaran bekerja sebagai sopir di Semarang. Namun, lantaran hanya memiliki sisa uang Rp 60.000, dia pun mengurungkan niatnya menerima tawaran tersebut. "Uang sebanyak itu bisa habis dalam waktu dua hari. Jadi, saya harus berutang untuk memenuhi kebutuhan. Dan, siklusnya pasti akan begitu terus," kata Slamet.
Dalam perjalanan pulang ke desanya, Slamet bertemu dengan petani yang sedang membersihkan eceng gondok di lahannya. Saat itulah, ia mendapatkan inspirasi untuk membuat kerajinan berbahan baku eceng gondok.
Dengan modal sebesar Rp 60.000, Slamet lalu membelanjakan bermacam peralatan untuk membikin kerajinan, seperti gunting, pisau pemotong atau cutter, penggaris besi, dan lem.
Karena belum memiliki pengalaman membuat kerajinan dengan bahan eceng gondok, Slamet pun mencoba-coba memproduksi berbagai produk. "Kalau buat tas, pasti kalah bersaing dengan produk-produk asal Yogyakarta," ujarnya.
Pada awalnya, selama enam bulan pertama memulai bisnis tersebut. Slamet mengerjakan sendiri semua produk kerajinannya. Baru setelah itu, teman-teman satu kampungnya yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jakarta serta para pemuda di desanya yang putus sekolah tertarik bekerja dengan Slamet.
Walau masih dalam skala kecil, pasar penjualan aneka kerajinan eceng gondok buatan Slamet sudah terbentuk. Itu sebabnya, Slamet pun rela tak mengambil kesempatan emas masuk dalam jajaran skuad Dinas Pemadam Kebakaran Provinsi DKI Jakarta dengan status sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Jadi, sewaktu masih di Jakarta dulu, tahun 2003, ia pernah memasukkan lamaran menjadi anggota pemadam kebakaran.
Slamet khawatir terhadap kelangsungan usaha yang telah memberi nafkah bagi teman dan pemuda kampungnya. Karena itu, dia mengajukan surat pengunduran diri ke Dinas Pemadam Kebakaran DKI. "Hampir 75% karyawan saya yang waktu itu berjumlah 12 orang adalah anak putus sekolah. Bagaimana nanti mereka bisa bertahan," ungkapnya.
Tentu saja, keputusan ini banyak mendapat tentangan dari keluarganya, termasuk orang tua Slamet. "Orang tua saya masih beranggapan, menjadi pegawai negeri akan menjamin kehidupan kita di masa tua," kata dia.
Selain karyawan, Slamet juga khawatir dengan nasib pemasok eceng gondok yang menyuplai bahan baku itu kepadanya, kalau ia menjadi PNS di Jakarta. Maklum, para pemasok eceng gondok di daerah Banyubiru memang banyak mengandalkan permintaan dari dia.
Tidak hanya memasok bahan baku, para penyuplai eceng gondok itu juga sering menjadi pekerja lepas kalau order yang masuk ke Slamet sangat banyak. Slamet membeli eceng gondok kering dari mereka seharga Rp 3.000 per kilogram.
Slamet juga mempekerjakan tiga anak sekolah yang sempat menyulut kontroversi. Tapi, "Saya tidak menuntut apapun dari mereka selama tak mengganggu jam belajar. Saya hanya ingin membagikan bekal ilmu tentang pembuatan kerajinan eceng gondok," ujarnya.
Makanya, Slamet berharap, anak-anak itu bisa menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk membiayai sekolah mereka. Sebab, sebagian besar dari mereka memang berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Slamet terus mengasah kemampuan pekerjanya dalam membuat kerajinan. Perlahan tapi pasti, ketrampilan para karyawannya bertambah. Buktinya, sudah banyak produk-produk baru yang dihasilkan Slamet, seperti tempat tisu dan miniatur mobil, lokomotif kereta api serta kapal pinisi.
Ia mematok harga berbagai barang kerajinan itu mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 2,5 juta. Dalam sebulan, Slamet antara lain bisa memproduksi 1.500 tempat tisu, 500 miniatur mobil, dan 100 miniatur kapal pinisi.
Dari hasil penjualan aneka produk itu, Slamet pun bisa meraup omzet hingga Rp 24 juta sebulan, dengan keuntungan sekitar Rp 6 juta.
Dari keuntungan itu, Slamet membaginya ke dalam tiga pos. Yakni, pos untuk kebutuhan pribadi, untuk masyarakat sekitar, dan untuk anak karyawan yang masih sekolah.
Dengan semua pencapaiannya ini, Slamet berhasil menghapus stigma yang melekat di masyarakat tentang usaha kerajinan yang dianggap tidak banyak memberikan keuntungan.
Ia pun sering menjadi pembicara di seminar kewirausahaan. Dia juga didaulat menjadi Ketua Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP) Karya Muda di Banyubiru. Banyak juga karyawannya yang kemudian menjadi pengajar kerajinan di sekolah-sekolah yang ada di wilayah Banyubiru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News