kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Fesyen lokal yang lebih fenomenal di pasar internasional


Senin, 07 Februari 2011 / 11:04 WIB
Fesyen lokal yang lebih fenomenal di pasar internasional
ILUSTRASI. Paparan publik Bank Artos


Reporter: Rivi Yulianti | Editor: Tri Adi

Produk fesyen lokal mulai merajai pasar internasional. Bahkan, kualitasnya setara dengan produk fesyen dari negara-negara mode, seperti Prancis dan Italia. Harganya yang maksimal membuat produk lokal lebih tenar di pasar internasional. Tapi, para desainer dan produsen masih belum menggarap pasar dalam negeri dengan serius karena keterbatasan produksi.

Awalnya, desainer-desainer fesyen lokal ini memang melempar produknya ke panggung internasional dengan cara memberi label yang agak kebarat-baratan. Maklum, mereka mengincar pasar luar negeri.

Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik yang membangun usaha sepatu ekspor dengan merek Nilou di bawah bendera CV Talenta Putra Dewata, misalnya. Untuk memulai bisnis ini, ia menghabiskan modal sebesar Rp 75 juta untuk mendirikan bengkel kerja dan menyewa ruko untuk butik.

Menurut wanita kelahiran 15 Juni 1975 itu, nama Nilou dipilih agar terkesan seperti produk Prancis dan tidak dianggap remeh di pasar ekspor. "Plesetan dari nama saya, Ni Luh," ujarnya.
Setelah produknya terkenal, Ni Luh lalu melakukan rebranding dengan mengganti merek pada September 2010 menjadi Niluh Djelantik. Tujuannya, untuk menonjolkan sisi keindonesiaan dari produknya.

Asal tahu saja, sepatu yang dikenakan Julia Roberts dalam film Eat, Pray, Love dan selebritis Hollywood lainnya, seperti Uma Thurman, Tara Reid, dan Robyn Moore, serta supermodel Giselle Bundchen, adalah buatan Ni Luh. Kini, alas kaki bikinan Ni Luh sudah merambah ke 20 negara, antara lain Australia, Selandia Baru, serta pelbagai negara di benua Asia, Amerika, dan Eropa.

Sama seperti Ni Luh, Nancy Go, mulanya menamai produk tasnya Bagteria pada tahun 2000. Bermodalkan duit Rp 100 juta, ia membuat bengkel kerja dengan lima karyawan. "Saya pilih nama Bagteria karena kebarat-baratan, terkesan lucu dan unik. Harapannya agar mewabah seperti bakteri," kata pemilik PT Metamorfosa Abadi di Jakarta ini.

Produk tasnya sudah mendarat di 30 negara termasuk Timur Tengah. Tak heran, Paris Hilton, Emma Thompson, dan cucu Ratu Elizabeth II, Putri Zara Phillips menenteng tas

buatan Nancy.
Bahkan, Paris Hilton rela membeli tas display bikinan Nancy saat New York Fashion Week. Sebetulnya, "Saya tidak pernah mengkhususkan diri menyasar figur publik internasional. Saya juga baru tahu setelah lihat fotonya di majalah, ternyata tas bikinan saya mereka pakai," ujar Nancy.

Namun, tak mudah bagi Ni Luh dan Nancy menggaet pasar internasional. Beruntung, Ni Luh mendapat bantuan dari temannya yang sudah lebih dulu memiliki jaringan di Eropa. "Responnya sangat bagus, saya langsung kebanjiran pesanan sampai kewalahan," kata dia.

Adapun, pemasaran ke Australia secara tak sengaja. Ketika itu, ada pasangan dari Negeri Kanguru yang sedang berbulan madu di Bali melongok butik milik Ni Luh di Jalan Kerobokan, Denpasar. Akhirnya, mereka menjadi mitra sampai sekarang.

Setelah sukses di Eropa dan Australia, sepatu buatan Ni Luh langsung menjadi buah bibir, sehingga dengan mudah melenggang bebas ke negara-negara lain.

Sementara, Nancy pertama-tama memasarkan produknya ke sejumlah toko di pelbagai negara dari pintu ke pintu, mulai Hong Kong, Italia, Prancis, dan negara Eropa lain. Baru, setelah itu ke negara-negara Asia. "Tantangan terberat adalah Jepang yang orang-orangnya terkenal saklek akan kualitas produk," ujarnya.

Sukses Bagteria menembus pasar internasional tak lepas proses pembuatan tas secara manual dan menggunakan bahan yang unik, langka, serta mewah. Nancy memakai kristal swarovski, sterly silver, gold platted, kulit ikan dari Islandia, kulit burung unta, termasuk gading mamot yang sudah punah, impor dari Siberia. Nancy kemudian menggabungkan bahan-bahan itu dengan teknik rajut dan sulam.

Ia mengeluarkan 25 desain untuk setiap musim. Nancy hanya merilis tiga seri warna. Dia hanya membuat 299 tas untuk setiap warna dengan tujuan menjaga produknya tetap eksklusif.
Nancy membanderol tasnya dengan harga Rp 1 juta sampai Rp 8 juta, bahkan bisa di atas Rp 10 juta untuk produk edisi terbatas. "Untuk pasar luar negeri, harganya saya naikkan sampai 2,5 kali lipat," ungkapnya.

Sedang Ni Luh tak ragu menggunakan aneka bahan, mulai dari kulit, suede, sampai katun, dengan aksesori berlian. Ia membanderol sepatu model boot hak tinggi, balerina, stiletto, dan aneka sandal dengan harga Rp 1 juta sampai Rp 15 juta per pasang. Untuk pesanan khusus, harganya bisa mencapai Rp 50 juta.

Lantaran harga yang mahal, produk buatan Ni Luh dan Nancy masih asing di pasar lokal. "Memang, segmen untuk dalam negeri sangat terbatas, hanya kalangan tertentu saja yang mampu membelinya," kata Nancy. Makanya, Ia tidak ngoyo mengejar pasar lokal.
Butik milik Nancy hanya satu di Plaza Indonesia. Toh, ia masih memiliki sejumlah pelanggan setia, seperti Ibu Negara Ani Yudhoyono yang rutin membeli produknya untuk koleksi pribadi dan sebagai cenderamata buat tamu kenegaraan.

Hanya saja, Nancy bilang, produk dalam negeri justru masih dipandang remeh oleh sebagian orang kita. "Dengan harga yang sama, mereka lebih memilih produk-produk impor," ujar Nancy.

Ni Luh juga cuek dengan ketidakpopuleran produknya di negeri sendiri. "Mungkin karena kebanyakan desain sepatu saya ditujukan untuk negara empat musim dan desain sesuai selera orang bule," kata Ni Luh.

Baik Nancy maupun Ni Luh mengatakan, mereka kewalahan kalau harus melayani pasar dalam negeri. Karena itu, "Fokus saya untuk memenuhi kuota ekspor dulu," ujar Ni Luh.

Dalam sebulan, Ni Luh meraup omzet minimal Rp 200 juta. Nancy enggan membeberkan penghasilannya. Namun, ia mendapatkan margin keuntungan 2,5% hingga 3% dari harga jual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×