kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jasa pengelolaan waralaba yang makin moncer


Senin, 20 September 2010 / 10:08 WIB
Jasa pengelolaan waralaba yang makin moncer


Reporter: Diade Riva Nugrahani | Editor: Tri Adi

Pertumbuhan bisnis waralaba ikut menyemai bisnis jasa konsultasi dan pengelola sistem waralaba. Mereka memudahkan pemilik usaha membuat sistem, memasarkan, dan mengelola bisnis waralaba mereka. Tarifnya cukup mahal, lo.

Minat berbisnis tumbuh subur beberapa tahun belakangan ini. Buktinya, banyak muncul pebisnis-pebisnis baru. Sebagian besar dari mereka muncul lewat jalur instan, yakni membeli jaringan kemitraan atau waralaba.

Data dari Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) menunjukkan, pada tahun 2005, jumlah pemilik bisnis kemitraan atau waralaba hanya sekitar 336, baik pemain lokal maupun asing. Tapi, kini, jumlahnya sudah melesat menjadi 1.010 pemilik bisnis.

Dari jumlah itu, hanya 8% yang benar-benar menerapkan sistem waralaba (franchise). Sisanya merupakan kemitraan atau business opportunity (BO). Maklum, sistem bisnis waralaba jauh lebih sulit ketimbang kemitraan. “Banyak yang ingin cepat dapat duit sehingga malas mempelajari konsep waralaba,” tandas Anang Sukandar, Ketua Umum AFI.

Lonjakan jumlah pelaku usaha itu juga ikut mendongkrak pencapaian omzet jejaring bisnis ini. Masih mengutip data AFI, pada tahun 2007, omzet yang dikumpulkan para pelaku bisnis kemitraan dan waralaba bisa mencapai Rp 81 triliun. Setahun berikutnya, omzet itu tumbuh 15% menjadi Rp 93 triliun. Nah, tahun lalu, omzet bisnis mereka tumbuh tipis, sekitar 2,1%, menjadi Rp 95 triliun.

Anang memperkirakan, tahun ini, omzet bisnis kemitraan dan waralaba bisa mencapai Rp 114 triliun atau naik sekitar 20,6% dari tahun lalu. “Tiap tahun, pertumbuhan business opportunity mencapai 10%–15%, sedangkan franchise hanya sekitar 2%,” bebernya.

Umumnya, sistem waralaba dikembangkan dan dipasarkan sendiri oleh pewaralaba (franchisor). Tapi, belakangan ini, pertumbuhan jejaring waralaba dan kemitraan tidak lepas dari peran jasa pengelola waralaba atau biasa disebut juga franchise management.

Secara garis besar, franchise management merupakan pihak yang menempatkan diri sebagai jembatan antara pengusaha yang ingin menawarkan kemitraan dan waralaba dengan investor yang sedang mencari peluang bisnis.

Cuma, fungsi franchise management tak sekadar membikin sistem waralaba atau kemitraan atas pesanan franchisor. Mereka juga menggarap pengembangan dan kelangsungan bisnis waralaba itu.

Salah satu pemain di bisnis ini adalah PT SynergyBiz. Pengalaman sang pemilik sekaligus Presiden Direktur SynergyBiz Sugeng Santoso menjadi pemicu munculnya perusahaan ini setahun silam di Jakarta. Sugeng pernah ditelantarkan oleh pemilik waralaba (franchisor) tatkala menjadi franchisee usaha ayam goreng. “Saya merasa franchisor tidak mengurusi saya selama menjadi mitra,” kenangnya. Alhasil, usahanya tidak berkembang.

Menurut Sugeng, franchise management bisa menjawab permasalahan utama bisnis waralaba dan kemitraan selama ini. Yaitu, bisnis cepat mati lantaran tidak dikelola dengan baik.

Saat ini, SynergyBiz sudah menjadi induk semang toko roti merek Cizz yang telah diwaralabakan sejak tahun ini. SynergyBiz juga tengah menyiapkan tiga usaha waralaba di bidang properti, salon, serta makanan dan minuman untuk diluncurkan tahun depan.

Jasa sesuai dengan kebutuhan

Pemain lain di bisnis ini adalah Francorp. Perusahaan internasional yang menjadi konsultan McDonald ini sudah berdiri sejak 1976 dan kini telah beroperasi di 22 negara. Namun, di Indonesia, Francorp baru muncul pada Agustus 2010 lalu. Chief Executive Officer (CEO) Francorp Indonesia Widia Dharmadi, menjelaskan, cakupan bisnis di Indonesia akan berbeda dengan Francorp International. Francorp Indonesia akan lebih fokus pada pembuatan sistem waralaba. Jadi, fungsinya lebih banyak sebagai franchise consultant. Sebagai pembanding, Francorp International sudah benar-benar beroperasi sebagai franchise management.

Meski begitu, Widia tidak ingin membuat batasan terlampau tegas. Jika ada perusahaan yang meminta jasa sebagai franchise management, Francorp Indonesia tidak akan menolak mereka.

Francorp Indonesia memang ahli dalam menyusun rencana strategis, payung hukum, sistem pengoperasian, maupun pemasaran bisnis waralaba. Sistem yang mereka bangun tak hanya bisa digunakan sebagai pegangan selama setahun atau dua tahun ke depan. “Kami membuat sistem bisnis untuk lima, sepuluh, bahkan sampai 25 tahun ke depan,” tandas Widia.

Widia menambahkan, usai Lebaran ini, Francorp Indonesia siap menggarap sistem waralaba untuk tiga perusahaan yang bergerak di bidang editing, perancang keuangan, dan dermatologi.

Pesaing Francorp, The Bridge Consultant and Agency menempuh strategi yang sedikit berbeda. Managing Director The Bridge, Helen Novalisa, bilang, perusahaan yang sudah beroperasi sejak 2004 ini membedakan ranah kerjanya menjadi dua yakni pengembang bisnis (development) dan keagenan (agency). Saat ini, The Bridge beroperasi di Surabaya dan Jakarta.

Di bidang development, The Bridge membidik perusahaan yang ingin mengembangkan bisnisnya menjadi waralaba atau kemitraan. The Bridge bakal menggali informasi seputar bisnis calon kliennya tersebut sebelum merumuskan sebuah sistem waralaba untuk mereka.

Sementara, di jasa keagenan, The Bridge membidik calon investor yang ingin memilih dan meminta rekomendasi bisnis franchise yang sesuai dengan harapan dan minatnya.

Berbeda dengan kerja sama yang ditawarkan SynergyBiz dan Francorp, The Bridge hanya membuatkan sistem waralaba sesuai kebutuhan klien. Lepas setahun kontrak kerjasama, The Bridge tidak mau lagi ikut campur dalam persoalan yang bisa saja muncul dalam proses penerapan sistem itu.

Helen mengaku sudah berhasil menggaet banyak perusahaan sebagai klien, baik mereka yang minta dibuatkan sistem waralaba maupun sekadar berkonsultasi untuk menyempurnakan sistem. Salah satu kliennya adalah Hendy Setiono, pemilik Kebab Turki Baba Rafi.

Pemain lain yang tak kalah agresif adalah FT Consulting. Perusahaan yang masuk sejak tahun 1996 dan merupakan franchise asal Singapura ini telah menangani lebih dari 100 franchisor. Beberapa di antaranya meraih Indonesia Franchise Award 2009, yakni ILP, Odiva, Apotek K-24, dan Disc Tarra. “Setiap konsultan (kami) diberi pelatihan langsung,” tutur Utomo Njoto, Konsultan Senior FT Consulting.

FT Consulting memiliki sistem bernama Full Franchise Development Programme. Sistem ini meliputi penghitungan franchisee fee dan royalti hingga perbaikan kinerja sebelum diwaralabakan. Selain itu, program ini cukup mencakup penyusunan pedoman operasional, strategi, dan tools pemasar-an waralaba. Konsultasi legal, penyusunan struktur organisasi yang ideal, dan pengelolaan struktur organisasi, juga sudah termasuk di dalam paket.


Biayanya tak murah

Ongkos jasa franchise management tidak murah. Meski demikian, tidak mudah menyebutkan secara pasti nilai kontrak mereka. Para konsultan itu beralasan, karakteristik jasa yang diberikan berbeda untuk setiap klien. Artinya, tidak ada patokan baku tarif jasa ini.

Tapi, Helen memberi gambaran umum, The Bridge mematok tarif jasa sekitar US$ 25.000– US$ 35.000 untuk pembuatan sistem dan penerapan waralaba selama setahun.

Sementara, Francorp Indonesia enggan mengungkap rentang tarif jasa mereka. Widia hanya menyebut biaya tetap (fixed cost) sebesar Rp 500 juta untuk jasa pembuatan sistem waralaba dan penerapannya selama setahun. Di luar biaya tetap ini, bisa saja ada tambahan biaya lain sesuai dengan kebutuhan klien.

Adapun biaya konsultasi FT Consulting ditetapkan dengan periode bulanan. “You pay what we work for you,” tutur Utomo. Fee proyek biasanya sekitar Rp 150 juta, dengan tarif per bulan Rp 10 juta. Khusus untuk UKM, Utomo menggunakan kombinasi flat fee di muka plus success fee. “Flat fee sekitar Rp 30 juta, sementara success fee per bulan akan dinegosiasikan nanti,” ungkapnya.

Adapun SynergyBiz lebih cenderung menerapkan sistem bagi hasil dengan mitra pemilik usaha.

Namun, ada baiknya, para pengusaha berpikir masak-masak sebelum memakai jasa institusi franchise management. Pengamat pemasaran dari Arrbey Handito Hadi Joewono mengingatkan, menggandeng mereka tidak menjamin usaha seorang franchisor akan lebih maju ketimbang dikelola sendiri. Pemerhati dan konsultan waralaba dari Proverb Consulting Erwin Halim juga melihat, kebutuhan tiap jenis usaha berbeda. Ada yang bisa berkembang sendiri, ada yang butuh jasa franchise management.

Anang juga menyarankan, mereka yang ingin mengembangkan bisnisnya dengan menggunakan jasa franchise management cermat dalam memilih mitra. “Kalau memerlukan jasa mereka, pilih yang memiliki pengalaman mengembangkan dan memajukan sebuah usaha waralaba serta terbukti berhasil,” tandasnya.

Anang juga mengingatkan, sukses bisnis waralaba juga sangat tergantung pada jaminan kualitas produk maupun jasa yang diberikan oleh para pemilik usaha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×