Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi
Hidroponik memang bukan teknik baru di dunia pertanian. Sudah banyak petani yang menggunakan sistem bertanam yang satu ini. Namun, potensi pengembangan hidroponik di Indonesia masih terbuka lebar. Pasalnya dengan pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, kebutuhan pangan pun terus meningkat.
Salah satu produsen sayuran hidroponik ialah Parung Farm yang sudah berdiri 1997 di Bogor, Jawa Barat. Yudi Supriyono, Direktur Produksi dan Kemitraan Parung Farm, mengatakan, tujuan pendirian Parung Farm ialah menyediakan wadah pelatihan bagi masyarakat. Maklum saat itu, informasi mengenai seluk-beluk budidaya hidroponik masih terbatas.
Seiring dengan perkembangannya, Parung Farm pun menjual sayuran hidroponik ke berbagai supermarket di Jabodetabek. “Dari setiap pelatihan, kan, selalu ada hasil panennya. Nah, ternyata sayuran itu banyak peminatnya, sehingga kami memutuskan untuk memasarkannya,” tutur Yudi.
Awalnya Parung Farm punya lahan di Bogor seluas 4 hektare (ha). Kemudian, produsen sayur hidroponik ini menambah lahan di Cianjur seluas 7 ha. Lokasi pengembangan berbeda karena ada beberapa jenis sayuran yang harus ditanam di dataran tinggi. Dari 7 ha lahan di Cianjur itu, Parung Farm menggunakan dua hektare lahan untuk pertanian hidroponik. Sementara sisanya digunakan untuk menanam sayuran dan buah organik.
Yudi menjelaskan peluang usaha dari pertanian hidroponik sangat menggiurkan. “Potensinya sangat bagus apalagi di masa depan,” tandas dia.
Hidroponik menjadi solusi yang tepat ketika lahan pertanian semakin sempit. Hidroponik merupakan sistem bertanam tanpa menggunakan media tanah. Sebagai pengganti, media tanam yang dipakai ialah air.
Pertanian dengan hidroponik juga memudahkan petani. Salah satunya, petani lebih mudah mengontrol nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Sementara itu, kalau menggunakan tanah, nutrisi tak bisa dideteksi. “Kalau pakai air, kami bisa mengukur apakah nutrisi sudah cukup atau harus ditambah dengan pupuk,” ujar Yudi.
Sayuran hidroponik jadi pilihan masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas karena kualitasnya yang lebih baik dibandingkan dengan sayuran konvensional. Daya tahannya juga lebih lama, yakni mencapai empat hari. Sementara, sayuran yang ditanam dengan metode konvensional hanya bisa disimpan selama dua hari.
Hanya, menurut Yudi, kualitas sayuran hidroponik belum bisa menyamai sayuran organik. Pasalnya, tanaman hidroponik masih menggunakan bahan kimia sebagai pupuk. Akan tetapi, Yudi sama sekali tak menggunakan pestisida. “Bahan kimia yang kami gunakan bukan untuk mematikan hama, tapi mempercepat pertumbuhan tanaman,” jelas dia.
Yudi mengatakan, permintaan sayur hidroponik pun melonjak dari tahun ke tahun. Namun karena menyasar kelas ekonomi tertentu, sayuran hidroponik hanya dijual di supermarket dan belum menjangkau pasar tradisional. “Per tahun permintaan sayuran hidroponik naik 5%–15%,” ujar dia.
Produsen sayuran hidroponik lainnya ialah PT Saung Mirwan di Kecamatan Megamendung, Bogor. Perusahaan ini dirintis oleh Tatang Hadiwinata pada 1984. Awalnya, Saung Mirwan hanya memproduksi sayuran hidroponik. Lantaran persaingan yang ketat untuk produk itu, Saung Mirwan menambah produk berupa sayuran potong (fresh cute). Lini bisnis baru ini dimulai sejak 2005.
Dulunya, Saung Mirwan juga memiliki lahan sendiri seluas 7 ha di Bogor. Namun, dua tahun lalu, lahan itu dijual. Untuk memenuhi pasokan sayuran, Saung Mirwan menjalin kemitraan dengan sekitar 100 orang petani yang tersebar di Bogor, Garut, dan Bandung. “Saat ini, sebesar 70% dari total produksi dijadikan sayuran potong atau sayuran siap saji,” ujar Mochamat Wasil Sayuti, Manager Supply Chain Saung Mirwan. Di masa mendatang, Saung Mirwan berencana fokus ke produksi sayuran siap saji.
Kliennya bukan lagi supermarket tapi pengelola restoran, hotel, dan kafe. Menurut Wasil, margin keuntungan dari produksi sayuran potong siap saji lebih gurih daripada sayuran utuh. Jika dibagi antara harga beli dengan harga jual, maka gross margin untuk sayuran utuh hanya 24%. Sementara, untuk sayuran potong bisa mencapai 45%.
Dalam seminggu, Saung Mirwan memproduksi sayuran utuh sebanyak 2,5 ton. Adapun sayuran potong yang diproduksi mencapai 12 ton. Dus, Saung Mirwan meraup omzet bulanan sebesar Rp 150 juta untuk penjualan sayuran utuh dan Rp 900 juta hingga Rp 1 miliar untuk sayuran potong.
Sementara itu, Parung Farm bisa memproduksi 500 kg–700 kg sayuran hidroponik per hari. Pendapatan yang didapat dari label di bawah bendera PT Kebun Sayur Segar ini mencapai Rp 2 miliar–Rp 2,5 miliar per bulan. “Laba bersih yang didapat berkisar 15%-25%,” kata Yudi. Anda tertarik memulai bisnis sayuran hidroponik?
Harus ada greenhouse
Untuk menggeluti bisnis sayuran hidroponik, hal pertama yang harus dimiliki ialah modal, tenaga ahli dan pasar. Modal digunakan untuk menyewa atau membeli tanah dan mengolahnya sebelum jadi lahan pertanian. Meski tak menggunakan medium tanah, tanaman hidroponik butuh lahan yang rata agar pertumbuhan maksimal.
Selanjutnya, modal juga digunakan untuk membangun greenhouse. Yudi bilang, saat ini memang ada petani yang bertanam secara hidroponik tanpa greenhouse. Namun, resiko dan tantangannya lebih besar. Pasalnya, tanaman tidak terlindung atap. Jadi, kalau hujan tiba, tanaman bisa rusak. “Biaya perawatan bisa lebih besar lagi karena air hujan bisa mendatangkan penyakit pada tanaman. Dan karena kami tak pakai pestisida, pengendalian hama dan penyakit kami lakukan secara manual,” ujar dia.
Dalam membangun greenhouse, kata Yudi, yang harus jadi perhatian ialah jangan sampai salah perhitungan. Dari total lahan yang digunakan untuk hidroponik, petani harus bisa mengira-ngira, sehingga sekitar 60%–70% lahan efektif untuk tempat tanaman. Sisanya digunakan untuk jalan utama dan jalan tersier.
Greenhouse bisa dibangun dengan material bambu atau besi. Masing-masing bahan punya kelebihan dan kekurangan. Besi lebih tahan lama tapi harganya lebih mahal dan tak bisa diubah-ubah. Sementara, bambu lebih murah tapi hanya tahan tiga tahun. “Kami pakai bambu di Parung Farm,” ucapnya.
Untuk greenhouse dengan material bambu, menurut perkiraan Yudi, biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per meter (m). Sementara jika menggunakan besi, biayanya lebih besar lagi, yakni Rp 200.000 per m. Tiap meter persegi (m2) lahan bisa menampung 30 tanaman. Biaya itu, tambah Yudi, sudah termasuk plastik ultraviolet sebagai atap greenhouse.
Setelah greenhouse jadi, yang harus diperhatikan ialah tenaga ahli yang paham seluk-beluk pertanian, khususnya hidroponik. Pasalnya, pengawasan untuk sayuran hidroponik sangat penting. Pupuk yang digunakan merupakan racikan sendiri untuk memenuhi 13 nutrisi yang dibutuhkan tanaman.
Yang tak kalah penting ialah mendapatkan pasar. Maklum, risiko bisnis hidroponik sangat tinggi. “Tidak mungkin petani menanam dahulu, baru menawarkan produknya pada klien,” tegas Yudi.
Ia menyarankan, pemain pemula memproduksi sedikit sebagai sampel. Setelah mendapatkan pasar, barulah membangun greenhouse dalam skala lebih besar dan mulai penanaman. Jadi, setelah dua bulan, pengiriman sayuran hidroponik untuk klien sudah bisa berjalan. Sistem yang dianut Parung Farm ialah tiap hari menanam, tiap hari pula memanen. “Jadi produksi dan penjualan bisa berlangsung terus-menerus karena pelanggan butuh kestabilan pasokan,” tandas Yudi.
Setiap bulan, pengeluaran Parung Farm meliputi pembelian benih sayuran, media tanam seperti polibag, pupuk, gaji karyawan tetap dan upah tenaga kerja harian, biaya listrik, dan biaya kemasan. Saat ini, tenaga kerja Parung Farm mencapai 200 orang. Adapun 50 orang merupakan karyawan tetap.
Jika tidak punya lahan, Anda bisa mengadopsi sistem yang dipakai Saung Mirwan. Wasil mengatakan, seluruh produksi sayuran diserahkan ke petani yang menjadi mitra Saung Mirwan. Selanjutnya, sayuran tersebut dipotong-potong sebelum dikemas dan dikirimkan pada konsumen.
Proses pemotongan dilakukan dua tahap. Pertama, dipotong secara manual menggunakan pisau. Di tahap ini, sayuran dipisahkan antara bagian daun, tangkai, dan bonggol. Selanjutnya, sayuran dimasukkan ke dalam mesin pemotong agar ukurannya merata.
Wasil bilang, mesin pemotong ini bisa diimpor dari Belanda. Untuk empat mesin pemotong beserta tenaga ahli untuk instalasi, Saung Mirwan menginvestasikan dana Rp 4 miliar–Rp 5 miliar. Jika sudah berbentuk potongan rapih, sayuran tinggal dikemas. “Ada beberapa customer yang minta sayuran divakum terlebih dulu sebelum dibungkus,” katanya.
Kemasan yang digunakan ialah plastik atau mika tergantung kebutuhan customer. Beberapa sayuran dijual dengan label merek Saung Mirwan atau Sayuran Siap Saji. Namun, untuk customer tertentu seperti Seven Eleven, merek tak digunakan.
Wasil menambahkan, ketika Saung Mirwan masih punya lahan dan memproduksi sayuran, pengeluaran terbesar jatuh pada pembayaran gaji karyawan. Saat itu, total karyawan Saung Mirwan 400 orang.
Namun, setelah tahapan produksi diserahkan ke petani mitra, karyawan mereka tinggal 100 orang. Pengeluaran untuk gaji lebih kecil, tapi modal tersedot untuk pembelian bahan sayuran dari petani. “Sekitar 45% dari total pengeluaran dialokasikan untuk membeli bahan sayuran, lalu gaji karyawan, bahan kemasan dan biaya operasional pabrik, termasuk distribusi,” ucap Wasil.
Untuk distribusi, baik Parung Farm dan Saung Mirwan mengirimkan ke satu distribution center. Bila customer punya banyak gerai supermarket atau restoran, maka yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan ke setiap gerai adalah customer. Wasil bilang, untuk menjaga higienitas, setelah dikemas, sayuran harus dimasukkan ke dalam kemasan berbahan karton. Selanjutnya, sayuran dikirim menggunakan mobil berpendingin agar sayuran tetap segar ketika sampai di tangan pembeli.
Rezeki tambahan dari pelatihan
Kini, minat masyarakat terhadap pertanian hidroponik meningkat, baik di daerah maupun di perkotaan. Maklumlah, sistem hidroponik memungkinkan bercocok tanam di lahan yang terbatas. Dari sinilah, terbuka peluang untuk menyelenggarakan pelatihan hidroponik.
Yudi Supriyono, Direktur Produksi dan Kemitraan Parung Farm bilang, pelatihan dan penjualan peralatan hidroponik bisa jadi pemasukan tambahan. “Jumlah peserta pelatihan dan pembeli hidroponik kit stabil sampai sekarang,” kata dia. Parung Farm mengadakan pelatihan hidroponik dua kali dalam sebulan. “Kelebihan Parung Farm, kami memanfaatkan greenhouse yang ada menjadi pelatihan praktek bukan teori semata,” tutur Yudi.
Setiap pelatihan, ada 5–10 peserta yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Biayanya Rp 750.000 per orang. Meski pelatihan hanya sekali, tapi Parung Farm membuka akses untuk konsultasi seumur hidup.
Untuk memudahkan peserta, Parung Farm juga menjual peralatan hidroponik berbentuk rak. Peralatan ini dibanderol dengan harga Rp 30 juta per unit dengan ukuran 1 meter x 2 meter. Dalam sebulan, Parung Farm bisa menjual lima unit hydroponic kit. Selain peserta, peralatan hidroponik ini juga dijual secara umum. “Pembelinya tersebar hingga Papua,” tutur Yudi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News