kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meraup untung dari mebel bekas peti kemas


Selasa, 12 Oktober 2010 / 11:24 WIB
Meraup untung dari mebel bekas peti kemas
ILUSTRASI. BMKG - ilustrasi ramalan cuaca - siklon Cempaka


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati, Hendra Gunawan | Editor: Tri Adi

Daur ulang menjadi frasa yang makin penting di kehidupan manusia. Tak heran, kini berbagai daur ulang dilakukan. Tak hanya pada produk-produk kemasan, daur ulang juga terlihat pada industri furnitur. Penggunaan kayu bekas sudah menjadi hal yang biasa di kalangan konsumen.

Seiring maraknya pembangunan rumah, gedung perkantoran, pusat bisnis, apartemen, hotel dan sekolah, kebutuhan furnitur atau mebel juga terus bertambah. Tentu saja, tingginya permintaan furnitur ini berimbas pada makin banyaknya kebutuhan kayu.

Padahal, pasokan kayu untuk furnitur terus menyusut. Produksi kayu tak sebanding dengan tingginya permintaan. Selain itu, peningkatan permintaan itu mengakibatkan harga kayu makin mahal.

Hal itulah yang membangkitkan semangat para produsen furnitur untuk memanfaatkan kayu bekas. Salah satu kayu bekas yang bisa dipakai untuk bahan furnitur adalah kayu yang berasal dari bekas peti kemas. Asal tahu saja, bahan peti kemas ini biasanya berasal dari kayu yang sering disebut jati belanda.

Meski sama-sama kayu jati, jati belanda ini lebih ringan daripada kayu jati pada umumnya. Warnanya juga cenderung lebih cerah karena biasanya diproduksi dari pohon jati yang masih muda.

Namun, yang terpenting, harga kayu bekas ini lebih murah ketimbang kayu jati. Maklum, kayu jati belanda tak sekuat kayu jati biasa. Lantaran murah dan ringan, kayu jati belanda cocok untuk peti kemas.

Menurut Yuli Sanusi, pemilik Nugraha Furniture di Jakarta Timur, serat kayu pada kayu jati belanda lebih terlihat dibanding kayu jati menjadi kelebihan lainnya. Malah, mata kayu yang sering terlihat, bisa menjadi aksen khusus.

Para produsen furnitur dari kayu peti kemas ini biasanya mendapat pasokan bahan baku dari para pedagang kayu bekas di sekitar pelabuhan peti kemas. Yuli biasa mendapatkan pasokan bahan baku dari pedagang langganannya di sekitar Pulogadung dan lokasi gudang peti kemas lainnya.

Soal harga, cukup beragam, tergantung dari ukuran kayu. "Paling murah harganya Rp 1.000 per batang," kata Yuli. Maklum, lantaran barang bekas, tak ada standar ukuran seperti kayu produksi lainnya. Selain itu, kayu bekas peti kemas ini memiliki berbagai bentuk, dari mulai serpihan hingga papan-papan. Nah, harga
Rp 1.000 itu untuk kayu bekas peti kemas berbentuk papan dengan ukuran panjang 65 sentimeter (cm) dan lebar 8 cm.

Dalam setengah bulan ini saja, Yuli biasa menyediakan pasokan bahan baku kayu bekas ini hingga Rp 20 juta. Yuli memulai bisnis furnitur dari kayu peti kemas ini sejak 1998. Sampai saat ini, ia merasakan peningkatan permintaan yang cukup besar. "Dulu, mungkin orang belum familiar dengan kayu peti kemas ini. Jadi, penjualannya jauh berbeda dibandingkan dengan sekarang," kata Yuli.

Ia bilang, dari penjualan produk furnitur ini, bisa meraup omzet rata-rata Rp 75 juta per bulan. Nugraha Furniture memproduksi meja, kursi, lemari, tempat tidur hingga kitchen set. "Apa pun perkakas yang berbahan kayu, kami bisa membuatnya," ujarnya sambil berpromosi.

Selain menerima gambar rancangan dari para pelanggan, Yuli juga menyediakan contoh desain untuk para konsumen. Pelanggan furnitur kayu peti kemas Yuli sudah tersebar di Jabodetabek. "Bahkan, ada juga konsumen yang datang dari Bandung dan Tasikmalaya," ujarnya.

Kini, Yuli memiliki dua showroom yang masing-masing berlokasi di Kalimalang dan Jatiasih. Untuk mengerjakan pesanan, Nugraha Furniture memperkerjakan 11 tukang kayu dan 12 karyawan di bagian finishing untuk menghaluskan dan melapis warna furnitur.

Tak hanya di Jakarta, produsen mebel dari kayu peti kemas juga terdapat di Yogyakarta. Fajar Suryo Isworo, pemilik Equator Design Studio di Yogyakarta menyebut usahanya sebagai green design furniture dengan konsep 3R (reduce, reuse, dan recycle). "Kami ingin mengurangi penebangan pohon," kata pria yang berusia 22 tahun ini.

Meski pernah menjadi negara dengan pohon yang melimpah, lanjut Fajar, Indonesia kini sudah masuk dalam Guinness Book World of Records sebagai salah satu deforester atau negara penghancur hutan terbesar di dunia.

Karena itu, arsitek lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini ingin lebih fokus pada produksi furnitur dengan memanfaatkan kayu-kayu bekas. "Selain kualitasnya yang bagus dan awet, kayu bekas peti kemas ini juga murah," kata Fajar.

Sebagai perbandingan, jika mebel berbahan kayu jati belanda ini harganya Rp 1 juta, bila dibuat dari kayu jati baru harganya bisa mencapai Rp 2 juta. Hampir dua kali lipat perbedaan harganya. Fajar mendapatkan pasokan kayu bekas ini dari berbagai pelabuhan peti kemas yang ada di Indonesia.

Berbeda dengan Yuli, Fajar bilang, minat konsumen yang menggunakan kayu bekas ini masih minim. "Pasalnya, citra bahan kayu bekas ini masih terlihat kurang di konsumen," ujarnya.

Padahal, imbuh Fajar, jika kayu bekas itu sudah dipoles menjadi furnitur, tampilannya tidak kalah menarik dengan mebel yang menggunakan kayu baru. Hanya, memang, jika dibandingkan dengan kayu multipleks melamin, variasi dari kayu jati belanda masih terbilang minim.

Selain itu, berbeda dengan melamin, kayu bekas kurang bagus bila dicat. Jadi, pewarnaan pada kayu jati belanda lebih menekankan pada warna-warna natural atau cat pernis saja.

Fajar mengatakan bisa mendapat omzet sekitar Rp 20 juta setiap bulan. "Perhitungan harga furnitur kayu bekas itu per meter lari. Harga satu meter lari Rp 1 juta," kata Fajar. Selain di Yogyakarta, Fajar juga membuka workshop pembuatan mebel kayu peti kemas ini di Tangerang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×