kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra kelom Tasikmalaya: Produksi berantai di satu kampung (1)


Jumat, 27 Mei 2011 / 13:38 WIB
Sentra kelom Tasikmalaya: Produksi berantai di satu kampung (1)
ILUSTRASI. Jurassic World: Dominion bagikan foto di balik layar bayi dinosaurus


Reporter: Gloria Natalia | Editor: Tri Adi

Tasikmalaya identik dengan kelom. Sandal kayu ini akrab disebut kelom geulis. Di kampung Gobras Kelurahan Sukahurip, Kecamatan Tamansari, lebih dari 100 warga jadi perajin kelom yang menyusun bagian kelom, dari tampah, ukiran kelom, hingga kelom siap pakai.

Di usia senjanya, Toha masih membuat kelom. Usaha ini sudah dia rintis sejak tahun 1956. Saat itu, hanya tiga perajin kelom yang ada di Gobras, sekitar satu jam dari pusat kota Tasikmalaya. Belajar dari pengamatannya, Toha lantas buka usaha.

Ia mendapat pasokan bahan baku kelom, kayu albasia dari Pakidulan, daerah di selatan Tasikmalaya. Kayu-kayu itu lantas dibentuknya menjadi kelom polos alias tak berukir.

Toha menjual kelom buatannya ke Bandung. "Harganya Rp 30.000 per kodi," kata Toha dengan bahasa Indonesia terbata-bata. Kala itu, dia memanggul kelom-kelom itu ke Bandung.

Dulu ada 15 orang membantunya membuat kelom. Tapi, para pekerja ini tak bertahan lama karena sejak 1960, satu dua perajin keluar dari usaha Toha. Mereka membuat kelom di rumah masing-masing.

Masuk tahun 1990, makin banyak warga Gobras yang membuka usaha kelom. Banyak perajin yang dulu jadi pegawainya keluar dari usaha dan membuka usaha sendiri. Toha menghitung, saat ini ada sekitar 100 perajin kelom mandiri di Gobras. Malahan, usaha pembuatan kelom ini sudah menyebar ke Sambong, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya.

Uniknya, para perajin kelom di daerah ini tidak melakukan seluruh proses produksi dari awal hingga akhir. Umumnya mereka mengerjakan satu bagian proses. Ada yang mengambil kelom dari perajin lain, dan menyempurnakannya menjadi kelom siap pakai. Ada yang mengukir. Ada pula yang sekadar memasangkan kain penjepit untuk dikepit saat konsumen memakainya.

Saat ini, Toha yang dibantu tiga perajin membuat 20 kodi kelom saban hari. Tak seperti 60 tahun lalu, sekarang dia menunggu pembeli di rumahnya. Para pembeli membeli kelom yang belum sempurna benar. Mereka harus memasangkan penjepit di bagian atas kelom agar bisa dipakai. "Kelom-kelom yang sudah jadi itu kemudian dipasarkan di toko-toko di Tasikmalaya dan Rajapolah," jelas Toha.

Toha menjual kelom buatannya dengan harga murah karena kualitasnya tak begitu bagus. Harganya Rp 80.000 hingga Rp 200.000 per kodi, tergantung ukuran. "Semakin besar ukuran, semakin mahal," ucap lelaki yang tak ingat lagi usianya ini.

Selain ke Tasikmalaya, kelom bikinan Toha juga menyebar ke Bogor, Surabaya, dan Bandung. Ia mengirim dua hingga tiga kali sepekan ke tiga wilayah itu.

Di Jakarta, pedagang Pasar Senen menjadi langganannya. Sekali kirim 200 pasang. Toha juga memproduksi kelom rematik. Ini jenis kelom dengan bulatan-bulatan kayu timbul. Ketika dipakai, telapak kaki akan tertusuk.

Toha menjual tampah kelom rematik Rp 40.000 per kodi. Tapi kelom ini belum dipasangi bulatan-bulatan timbul. Perajin lain yang membuatnya. Hitung punya hitung, Toha memproduksi 600 kodi kelom per bulan.

Hasil produksi Toha juga singgah di tangan anaknya, Abdul Rozak, yang akrab disapa Nono. Ia mengukir kelom dan menyemprot hasil ukiran menggunakan cat kayu. Nono bercerita, ia baru buka usaha pengukiran kelom sejak awal 2011.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×