kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra kerajinan golok Tasikmalaya: Kendala menebas ekspansi bisnis golok (3)


Senin, 03 Oktober 2011 / 16:13 WIB
Sentra kerajinan golok Tasikmalaya: Kendala menebas ekspansi bisnis golok (3)


Reporter: Fahriyadi | Editor: Tri Adi

Tumbuhnya aktivitas kerajinan dan perdagangan golok di kampung Galonggong, Tasikmalaya berimbas pada suplai tenaga kerja. Produsen golok mulai kesulitan mencari tenaga kerja terampil. Tidak hanya itu mereka juga mengeluhkan ada kenaikan harga bahan baku tanduk.

Walaupun mampu meraup omzet puluhan juta rupiah saban bulan, bukan berarti produsen golok, pisau, dan alat pertanian di Kampung Galonggong, Tasikmalaya, luput dari masalah.

Salah satu masalah yang dihadapi pengusaha benda tajam itu adalah minimnya pasokan tenaga kerja terampil. Penyebabnya adalah banyak perajin golok memilih untuk merintis usaha sendiri.

Kesulitan mencari tenaga kerja itu dialami Halimah, produsen golok merek UD Sepakat. Ia bahkan kesulitan menambah produksi karena minimnya pekerja. "Sementara permintaan selalu datang," keluh Halimah.

Tak jarang, Halimah mesti membatalkan pesanan karena produksi tersendat. Kondisi itu sering ia alami ketika melayani pesanan golok milik kolektor. "Golok kolektor itu membutuhkan pekerja yang ahli dan pengalaman," jelas Halimah.

Untuk mendirikan usaha kerajinan sekaligus perdagangan golok, setidaknya butuh tiga pekerja yang memiliki keahlian berbeda. Mulai dari keahlian membentuk golok, keahlian mengasah hingga keahlian mengukir gagang golok.

Sementara itu, keahlian membuat golok tidak diperoleh dari jenjang pendidikan, tapi dari jam terbang pekerja. "Semakin lama ia bekerja, ia semakin mahir dan gajinya semakin besar," terang Halimah.

Eman Suherman, salah pembuat golok di kampung Galonggong mengakui kesulitan produsen golok itu. Ia bilang tenaga kerja seperti dirinya jumlahnya memang sudah terbatas. "Apalagi mencari perajin yang mahir membentuk dan mengasah golok sekaligus," kata pria yang sudah bertahun-tahun jadi perajin golok itu.

Dalam membuat golok, Eman mendapat upah antara Rp 10.000 - Rp 70.000 per bilah, tergantung harga goloknya. "Dalam sehari saya bisa dapat Rp 50.000 terkadang lebih," ucapnya.

Bayaran untuk si perajin itu relatif seragam, meskipun merek goloknya berbeda. "Standar gaji kami seperti diseragamkan pengusaha golok itu," kata warga asli Galonggong itu.

Karena modal terbatas, Eman tak kunjung bisa merintis usaha sendiri dan memperdagangkan merek golok sendiri. "Ekonomi di sini berkembang, tapi tidak merata pada pembuat golok seperti kami," keluh Eman. Dia berharap mendapat bantuan modal dari pemerintah agar bisa mandiri.

Kondisi sama juga disampaikan Yayat Sutisna, yang ahli mengukir golok dan membuat gagang. Yayat juga ingin membuka usaha sendiri tidak tergantung pada pemodal.

Selain masalah tenaga kerja, produsen golok juga kesulitan bahan baku berupa tanduk. Seperti yang dialami oleh Enok Wida, pemilik merek golok PD Galonggong Suci. Ia mengaku, belakangan ini pasokan tanduk sapi dan kerbau kian menipis.

Kesulitan untuk mendapatkan tanduk itu bukan kali ini saja, tapi sudah bertahun-tahun. "Selain sulit mendapatkannya, harga juga semakin mahal," keluh Enok.

Setiap tahun, kenaikan harga tanduk sapi atau kerbau itu berkisar antara 5%-7%. Begitu juga dengan kenaikan harga besi dan kayu yang fluktuatif. "Berbagai kesulitan bahan baku ini menyebabkan kami sulit menentukan harga jual yang ideal kepada pelanggan kami," jelas Enok.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×