kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tanaman alfafal bisa jadi pakan hewan, bisa jadi obat berkhasiat


Senin, 08 Agustus 2011 / 15:16 WIB
Tanaman alfafal bisa jadi pakan hewan, bisa jadi obat berkhasiat
ILUSTRASI. Khasiat daun kelor bermanfaat untuk kesehatan tubuh.


Reporter: Epung Saepudin | Editor: Tri Adi

Tanaman alfalfa (Medicago sativa) masih terdengar asing bagi sebagian orang. Kalaupun pernah mendengar, tanaman ini lebih dikenal sebagai salah satu pakan ternak. Sebagian kecil orang mengenalnya sebagai salah satu tanaman herbal yang berkhasiat.

Bukan tanpa alasan orang tak kenal alfalfa. Masih sedikit orang yang membudidayakannya. Padahal, di luar negeri, alfalfa sudah dikenal luas. Tanaman ini bernilai tinggi lantaran mengandung cukup banyak vitamin dan protein yang berguna bagi hewan. Bahkan, produsen produk herbal dari Taiwan dan China mencari ekstrak alfalfa dalam jumlah besar.

Nugroho Widiasmadi sudah merasakan hasil budi daya alfalfa ini. Setiap panen, ia bisa mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp 10 juta. Sebagian besar hasil panenan dikirim ke para peternak yang memesan terlebih dahulu. “Prospeknya menarik. Tanaman ini bisa menjadi awal untuk swasembada pakan ternak,” tuturnya.

Sebagian lainnya diolah dalam bentuk kering. Ia mengaku tiap bulan mengekspor alfalfa kering dalam kemasan seberat 20 kilogram ke Taiwan.

Tiap 25 gram dihargai Rp 10.000. “Saya titip dikirim ke Taiwan lewat teman,” ujarnya.

Setelah ikut pameran agribisnis, Maret lalu, saat ini Nugroho mendapat banyak permintaan dari pembeli di Timur Tengah dan beberapa negara Afrika. “Sekarang masih dibicarakan,” katanya, sumringah.

Rosmeini, warga Bekasi, Jawa Barat, menjual ekstrak alfalfa dalam bentuk cair bermerek Chlorophyll. Menurutnya, permintaan produk ini tak pernah surut. Tiap bulan ia bisa menjual puluhan botol alfalfa ukuran 500 mililiter seharga

Rp 120.000. “Sebagian besar dikonsumsi untuk kesehatan tubuh,” tuturnya.

Meski menjanjikan, baru segelintir orang membudidayakan alfalfa. Salah satu yang sukses memang Nugroho. Ia menekuni alfalfa sejak 2001 di lahan seluas empat hektare milik sendiri di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta.

Nugroho menekuni budi daya alfalfa secara tak sengaja. Saat itu ia mendapat bibit dari seorang teman yang baru pulang dari Iran. “Saya dapat empat kilogram bibit,” kenangnya. Nah, setelah baca-baca manfaat besar alfalfa, dari tahun 2001 sampai 2004, Nugroho mencoba mengembangkan bibit itu agar bisa tumbuh dengan rindang.

Reyhan Khalifa termasuk baru membudidayakan tanaman ini. Pada September 2010, ia melakukan ujicoba di lahan ukuran 1 meter x 12 meter di Desa Karang Tengah, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, selama enam bulan. Saat ini ia sudah mengembangkannya di lahan seluas satu hektare di Purwokerto, Jawa Tengah.

Dengan menggunakan bibit yang didatangkan dari Amerika Serikat, Reyhan memilih menggunakan lahan kecil untuk mencari kecocokan tanaman alfalfa dengan iklim dan tanah di Indonesia. “Saya coba tanam, ternyata selama enam bulan hasilnya stabil,” katanya. Menurutnya, syarat utama budi daya alfalfa yakni memiliki kadar pH tanah 6,2–7,2 dan berada 600 meter di atas permukaan laut.

Lantaran syarat itu, Reyhan bilang, alfalfa tidak bisa tumbuh di semua daerah. Ia pernah mencoba mengembangkan di daerah Lembang, Jawa Barat. Tapi, ternyata alfalfa tidak tumbuh bagus dan bentuknya cenderung kontet.

Reyhan mengaku, saat memulai membudidayakan alfalfa, ia membeli bibit 1,8 kg seharga Rp 5 juta. Adapun total modal ketika memulai usaha – termasuk bibit, pengelolaan, dan membayar beberapa pekerja kebun – sekitar Rp 20 juta.

Menurut Reyhan, di awal uji coba, masa berat budi daya alfalfa yakni 40 hari pertama. Selama itu, biasanya banyak tumbuh rumput liar di sekitar alfalfa. Untuk menekan pertumbuhan rumput, saban pagi dan sore, ia membersihkan rumput liar agar pertumbuhan alfalfa cepat tinggi. “Memang harus telaten bersihkan lahan,” katanya.

Lantaran tanaman alfalfa ini termasuk golongan rumput, perawatannya relatif tak sulit. Menurut Reyhan, yang perlu dilakukan hanyalah menyiram tanaman secara rutin dan menghindari pupuk kimia. “Saya pakai pupuk organik karena ingin alfalfa bisa dikonsumsi hewan dan manusia,” ujarnya.

Reyhan yang juga ikut komunitas kelinci itu mengaku merasakan manfaat alfalfa. Kelinci yang diberi makan alfalfa memiliki ketahanan tubuh dan kualitas anakan bagus. Maklum, kadar kandungan zat klorofil dan vitamin B di tanaman ini sangat tinggi. “Sapi dan kuda Australia bagus karena mengonsumsi alfalfa. Tanaman ini mengubah kolesterol menjadi otot dan daging,” jelasnya.


Kerja sama bagi hasil

Untuk budi daya alfalfa di Purwokerto, Reyhan mendapat pasokan bibit dari Asep Jauhari, rekannya yang juga aktif di komunitas Kelinci. Sistem kerja samanya adalah bagi hasil. Saat panen, pembagian hasilnya adalah 40% untuk pemilik lahan, 30% pengelola, dan 30% untuk pemilik bibit.

Reyhan menuturkan, dari lahan satu hektare, sekali panen, alfalfa menghasilkan 16 ton tanaman basah dengan harga jual Rp 4.000 per kilogram (kg). Jika dikeringkan, hasilnya sekitar tiga sampai empat ton dengan harga jual Rp 12.000 per kg.

Potensi keuntungan dari budi daya alfalfa cukup besar lantaran masa hidup tanaman ini bisa sampai 20 tahun. “Akar alfalfa itu bisa sampai lima meter ke bawah tanah,” tutur Nugroho. Masa panennya juga cepat, yakni tiga minggu hingga satu bulan sekali.

Pengamat agribisnis F. Rahardi mengakui, sebagai tanaman subtropis, alfalfa memang bisa dibudidayakan secara komersial di kawasan tropis. Tetapi, proses adaptasinya cenderung memerlukan waktu lama dan perlu ketekunan lebih.

Tapi, prospek bisnis tanaman ini sebagai pakan ternak belum jelas. “Beda dengan rumput gajah atau raja,” katanya. Ia mengingatkan calon pembudi daya agar jeli. Soalnya, penjual benih alfalfa sering mempromosikan produk berlebihan. “Konsumen harus kritis,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×