kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Abu Bakar yang melahirkan steik kelas restoran di pinggir jalan


Rabu, 27 April 2011 / 13:08 WIB
Abu Bakar yang melahirkan steik kelas restoran di pinggir jalan
ILUSTRASI. Ini alasan kebanyakan wanita tidak suka berbelanja. REUTERS/Willy Kurniawan


Reporter: Feri Kristianto | Editor: Tri Adi

Tanpa bekal pendidikan formal dan modal besar, sekitar 20 tahun silam, Abu Bakar mendirikan Abuba Steak. Dengan menjaga kualitas bahan baku, Abuba Steak sudah berkembang dari warung pinggiran menjadi jaringan restoran kelas menengah atas.

Para penikmat steik di Jakarta pasti kenal Abuba Steak. Restoran ini merupakan salah satu warung steik lokal yang tetap bertahan di tengah serbuan gerai steik asing. Kini, setelah hampir 20 tahun berdiri, Abuba Steak mulai agresif berekspansi.

Berawal dari satu gerai di Cipete, Jakarta Selatan, kini, Abuba Steak telah memiliki tujuh gerai. Mereka pun siap bersaing dengan gerai steik asing. Menu yang ditawarkan juga tidak lagi membidik pembeli kelas menengah ke bawah. Abuba mulai menyasar kelas atas dengan menyajikan daging berkualitas top. Misalnya, mereka menghidangkan wagyu yang dijual seharga Rp 200.000 per porsi.

Saat ini, dengan tujuh gerai yang tersebar di Jakarta dan Bandung serta mempekerjakan 300 karyawan, Abuba Steak mampu meraup omzet miliaran rupiah per bulan. Seiring perkembangan bisnis, Abuba pun berbenah dan mulai menerapkan manajemen modern.

Nama Abuba merupakan singkatan nama pendirinya, yakni Abu Bakar. Pria kelahiran Cirebon yang kini berusia 59 tahun ini telah melakoni perjalanan bisnis yang panjang.

Kisah Abu Bakar mendirikan Abuba Steak ibarat air mengalir. Abu sendiri tak menyangka bisa sukses seperti sekarang. Maklum, ia tak pernah belajar memasak. Bahkan, ia putus sekolah di kelas V SD lantaran ayahnya menderita sakit dan akhirnya meninggal.

Lantaran desakan kebutuhan ekonomi, pada usia 13 tahun, Abu merantau ke Jakarta. Ia harus bekerja untuk menghidupi ibu dan kelima saudaranya. Di Ibukota, awalnya, ia bekerja sebagai kuli batu dan buruh. Di usia 17 tahun, Abu mendapat tawaran bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran di Kemang, Jakarta Selatan.

Perjalanan bisnis Abu bermula dari sini. Beberapa bulan setelah menjadi tukang cuci piring, ia dipercaya bertugas di bagian goreng-menggoreng. Sayang, pekerjaan itu hanya bertahan beberapa bulan. Ia menjadi korban pengurangan pegawai lantaran bisnis sedang surut.

Berbekal pengalaman di sekitar dapur, antara tahun 1970 sampai 1985, Abu sempat bekerja di beberapa restoran dan hotel. Di antaranya Hotel Sahid, Hotel Kemang, dan restoran Ponderosa (Amigos). Selama belasan tahun itu, ia banyak belajar tentang berbagai menu masakan lokal dan Barat.

Kemampuan Abu mengolah masakan barat semakin terasah ketika tahun 1987 ia bekerja sebagai juru masak di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di sekitar Pulau Natuna. Di sini, ia bertemu dengan chef asal Texas, Amerika Serikat. Dari chef ini, ia belajar mengolah burger dan steik.


Berawal dari Kemang

Abu ingat, steik yang sering dilihatnya saat itu berukuran besar. Steik itu selalu ditemani jagung, buncis, dan potongan kentang. Dari situ, ia mendapatkan ide. “Waktu itu, saya sering berpikir bagaimana kalau disajikan lebih kecil. Cuma, belum terpikir untuk membuat restoran sendiri,” tutur Abu.

Baru empat tahun di perusahaan minyak, Abu terpaksa pulang ke Jakarta lantaran kontraknya berakhir. Setelah menganggur selama tiga bulan, lantaran terdesak kebutuhan hidup, ia nekat membuka warung steik di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan.

Ada cerita menarik sebelum Abu membuka warung steik itu. Ia sempat bingung menentukan makanan yang akan dijual. Ia bahkan tidak percaya diri mengeluarkan menu steik. “Dulu, yang banyak dijual pecel lele dan lalapan. Tapi, saya tidak bisa membuatnya. Saya bisanya membuat steik,” ujar Abu.

Bermodal keterampilan yang dimiliki dan sedikit nekat, akhirnya, Abu membuka warung tenda seperti milik penjual pecel lele. Tapi ia menyajikan steik. Modal awalnya waktu itu hanya Rp 3 juta. Selain dari tabungan sendiri, ia juga harus meminjam untuk menutup kebutuhan modal itu.

Nama warung pinggir jalan itu adalah Abuba Steak, singkatan nama Abu Bakar. Lokasinya berada di Jalan Kemang Raya; tepatnya di depan restoran Payon. Mungkin lantaran dekat dengan komunitas ekspatriat, hanya dalam beberapa bulan, Abuba Steak ramai pengunjung. Ia buka warung setiap hari antara pukul 18.00–24.00.

Setelah sempat pindah ke Gang Langgar, Jalan Kemang I, pada 1994, Abuba Steak pindah ke Jalan Cipete Raya. Di sini, pamor Abuba Steak kian bersinar. Bahkan, setelah hampir 14 tahun membuka gerai di sini, pada 2008, lokasi restoran pindah ke lahan seluas 4.500 meter persegi yang tidak jauh dari lokasi awal. Tujuannya, Abu ingin memberi kenyamanan kepada pelanggan. Ia ingin menyediakan lahan parkir cukup luas.

Abu juga terus berinovasi. Ia menyajikan sajian dan makanan yang lebih modern. Di lokasi yang lebih luas, ia menambah karyawan pula. “Saya mengontrak lahan itu selama lima tahun biar lebih aman. Dulu, seingat saya, di kawasan itu hanya ada Warung Sunda. Jadi, kawasan Cipete masih sepi,” imbuhnya.

Menyadari usahanya perlu penyegaran dan manajemen yang lebih modern, pada 2010, Abu menyerahkan pengelolaan Abuba Steak ke anak tunggalnya, Ali Ariansyah. Nah, sejak ditangani Ali yang lulusan sekolah perhotelan di Swiss, bisnis Abuba Steak semakin pesat. Satu per satu, Abuba mendirikan gerai lain di Jakarta untuk menjangkau pelanggan.

Restoran Abuba Steak juga mulai menggarap segmen pasar yang lebih tinggi. Buktinya, beberapa gerai Abuba berada di kawasan permukiman kelas menengah atas seperti di Summarecon Serpong, Kelapa Gading, dan Tebet.

Abu mengakui, sekarang, Abuba ingin menaikkan segmen dengan mengedepankan kualitas. “Sekarang ini, sudah banyak steik kelas bawah. Tapi, kami mau memberi kesan lebih berkualitas,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×