Reporter: Diade Riva Nugrahani | Editor: Tri Adi
Bermula dari kegemaran terhadap cokelat, Ermey Trisniaty sukses membangun toko Dapur Cokelat. Ia rela melepas pendidikannya untuk membangun bisnisnya ini. Dengan delapan toko, kini, omzet Dapur Cokelat bisa ratusan juta rupiah per bulan.
Katakan dengan cokelat. Begitulah, sekarang, banyak orang memanfaatkan cokelat sebagai ungkapan kasih sayang dan perhatian mereka. Cokelat diberikan bukan cuma di saat event khusus seperti valentine, tapi juga saat orang sakit, melahirkan, ulangtahun, dan perayaan keagamaan.
Salah satu gerai cokelat ternama di Ibukota adalah Dapur Cokelat. Berdiri sejak 10 tahun silam, Dapur Cokelat adalah pionir toko cokelat di Indonesia. Kini, Dapur Cokelat memiliki delapan gerai di Jakarta dan Surabaya. Setiap hari, total penjualan semua gerai mencapai 3.000 kilogram (kg) cokelat, baik berupa pralin atau kue.
Di balik sukses Dapur Cokelat ada nama Ermey Trisniaty. Sejak kecil, ia memang suka cokelat, entah dalam bentuk permen atau kue. “Zaman dulu, kan, cokelat-cokelat itu sudah enak sekali,” kenangnya.
Saking gemarnya, perempuan yang biasa disapa Eyi ini kerap menyimpan cokelat di bawah bantal supaya bisa ia makan sebelum tidur. Ia tidak bisa tidur sebelum makan cokelat. “Tapi, saya tidak pernah sakit gigi, tuh,” ujarnya sambil tergelak.
Kini, kegemaran Ermey itu dicurahkan ke bisnis cokelat melalui Dapur Cokelat. Dengan menjual permen cokelat (praline), kue (cake) ulangtahun, dan wedding cake seharga Rp 2.500–Rp 250.000, Dapur Cokelat mampu meraup omzet Rp 500 juta lebih setiap bulan.
Ermey menempuh jalan terjal yang cukup panjang sebelum menggapai sukses seperti sekarang. Sejak kecil, perempuan kelahiran Jakarta 2 Mei 1975 ini memang sudah hobi memasak. Ia sering membantu sang ibu memasak di dapur.
Kegemaran memasak itu Ermey pertajam dengan bersekolah di National Hotel Institute, Bandung. Meski belajar ilmu memasak dengan aneka menu, ia tetap mencoba membuat makanan berbahan cokelat. Saat kuliah itulah, untuk pertama kalinya, ia mencoba membuat kue berbahan cokelat.
Jenis kue yang dibikin Ermey adalah cake cokelat. Keluar dari oven, cake-nya langsung diserbu dan dinikmati kawan-kawan kosnya di Bandung. Melihat teman-temannya sangat menyukai cake buatannya, tekadnya untuk memproduksi aneka kue cokelat semakin bulat. “Saya langsung bersemangat, mencoba membuat inovasi permen cokelat,” ujarnya.
Dengan modal Rp 10.000 untuk membeli bahan baku, Eyi mencoba membuat praline. Ia memanfaatkan kompor kecil di dapur kosnya untuk mengolah bahan baku cokelat. Kala itu, ia membuat praline hanya untuk coba-coba dan iseng.
Lulus dari kuliah di Bandung, di tahun 1994, Ermey melanjutkan kuliah di Jurusan Agrobisnis Institut Pertanian Bogor (IPB). Sambil kuliah, ia bertekad memulai usaha berjualan kue supaya bisa mendapat penghasilan. Sang ayah memang selalu mengajarkannya untuk berusaha mendapatkan uang dengan usaha sendiri. “Modal awal berasal dari ayah sebesar Rp 200.000. Tadinya buat beli handphone,” kata perempuan yang pernah bekerja di hotel dan menjadi awak redaksi di majalah Selera ini.
Dengan modal Rp 200.000 itu, Ermey menjajal keberuntungannya di bisnis kue cokelat. Tidak sampai seminggu, ia sudah meraup Rp 500.000, dua kali lipat lebih modalnya. Saat itu, ia segera mengembalikan duit ayahnya dan sekaligus membeli handphone. Sukses di bisnis kue, ia semakin yakin bahwa bisnis ini menjanjikan. Tapi, lantaran tak bisa sambil kuliah, ia melepas pendidikannya di IPB. “Harus ada yang saya korbankan. Tapi, saya tidak menyesal,” katanya.
Cokelat menyatukan
Di 2001, bersama Okky Dewanto yang kemudian menjadi suaminya, Ermey mulai serius membangun toko cokelat berjuluk Dapur Cokelat. Benih-benih cintanya dengan Okky tak lepas dari unsur cokelat. Alkisah, Ermey meminta Okky mencicipi kue buatannya. Okky yang sudah lebih dulu bergerak di bisnis pastry terpikat kue Ermey. “Wah enak, nih, kita jual, yuk!” kata Ermey menirukan ajakan kekasihnya waktu itu.
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Ermey mendapatkan tambatan hatinya sekaligus memulai cikal bakal usaha Dapur Cokelat-nya. Dengan modal Rp 75 juta hasil patungan dengan Okky dan seorang teman, Ermey membangun toko di Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta Selatan. Hampir 50% modalnya habis untuk investasi peralatan dan sewa lahan. Sisanya untuk membeli bahan baku cokelat dari produsen lokal. Ia hanya mempekerjakan tiga orang untuk membantu proses produksi di dapur.
Ermey punya cara promosi unik. Ia mengumpulkan nama orang dan alamat-alamat yang tidak ia kenal sebelumnya. “Saya kirim 1.500 kertas promosi Dapur Cokelat menggunakan perangko seadanya,” katanya.
Usahanya itu membuahkan hasil. Pelan-pelan, pengunjung mulai datang. Dari semula sekadar coba-coba, belakangan, makin banyak dari mereka yang menjadi pelanggan tetap. Kini, dengan delapan gerai Dapur Cokelat, Ermey sudah memiliki 300 karyawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News