Reporter: Hafid Fuad | Editor: Tri Adi
Dengan usia yang relatif masih muda, Agnes Tandia, 23 tahun, berhasil menemukan ide sekaligus memproduksi sepatu berbahan batik. Selain memasarkan produk sepatunya di dalam negeri, Agnes juga punya jaringan pemasaran sepatu hingga ke Malaysia. Saban sebulan, Agnes meraup omzet lebih dari Rp 60 juta.
Jika kebanyakan kaum perempuan hanya bisa membeli sepatu buatan orang lain, lain halnya dengan Agnes Tandia di Bandung. Ia justru lebih banyak memakai sepatu buatannya sendiri.
Bahkan keahlian Agnes membuat sepatu itu telah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan baginya. Kini, Agnes mampu memproduksi hingga 500 pasang sepatu wanita per bulan dengan omzet lebih dari Rp 60 juta.
Agnes pertama kali membuat sepatu wanita pada 2008, saat ia berusia 19 tahun. Ide itu muncul saat ia melihat banyak sisa kain pembuatan jaket berserakan di konveksinya. Maklum, sebelum memproduksi sepatu, Agnes sudah memproduksi jaket batik.
Dari bahan batik sisa jaket itulah Agnes mendesainnya menjadi sepatu. "Sayang jika bahan batik itu terbuang percuma," terang Agnes.
Ketika itu, Agnes belum punya keinginan membuat sepatu untuk keperluan komersial. Dia hanya ingin membuat sepatu buat dirinya sendiri. Tapi ternyata, banyak koleganya tertarik dengan sepatu dengan tampilan unik itu. "Bahan batik menjadi lapisan luar dari sepatu," terang Agnes.
Karena banyak yang berminat, Agnes memutuskan memproduksi sepatu yang dia beri merek Kulkith itu. Bahkan, agar produknya ini terkenal, ia membawa sepatu itu pada ajang pameran. Pada tahun 2009 itu, Agnes mengikuti pameran kerajinan Inacraft di Jakarta Convention Center (JCC). "Saya membawa dua lusin sepatu motif batik yang saya produksi dengan modal Rp 2 juta," terangnya.
Dari pameran itu, hatinya makin mantap berbisnis sepatu batik lantaran punya pasar potensial. Hampir seluruh sepatu itu habis terjual. Agnes pun pulang dengan membawa duit sekitar Rp 8 juta. "Dari dua lusin yang saya bawa, yang tersisa hanya lima pasang," kenang Agnes.
Dengan usia yang tergolong muda, Agnes kini sudah memiliki toko sepatu sendiri di Bandung, Jawa Barat. Ia juga sudah memiliki agen penjualan sendiri di Jakarta. Tak hanya itu, Agnes juga memiliki agen pemasaran hingga ke Malaysia. Namun begitu, penjualan sepatu batiknya masih mengandalkan pasar Jabodetabek.
Keunggulan sepatu produksi Agnes terletak pada penggunaan bahan baku. Agnes membuat sepatu dengan memadukan kain batik dengan bahan baku kulit. "Penggunaan bahan batik inilah ciri khas sepatu kami," terang Agnes.
Dengan mematok harga jual Rp 130.000 sampai Rp 250.000 per pasang, Agnes membidik segmen pasar kalangan perempuan muda yang berusia 15 tahun sampai usia 25 tahun.
Alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB itu mengaku sengaja memproduksi sepatu batik untuk kaum perempuan. Sebab, dari penilaiannya, kaum perempuan lebih peduli akan desain sepatu ketimbang kaum pria. "Maka itu setiap bulan saya selalu merilis tiga desain baru agar tetap bisa mengikuti tren pasar sepatu," jelas Agnes.
Demi kepuasan pelanggannya, Agnes tidak mau menjual sepatu dengan harga mahal. Alasan dia, konsumen bakal jarang berbelanja jika harga jual sepatu itu terlalu berat bagi kantong. "Jika harganya murah, mereka akan sering berbelanja," terang Agnes.
Walaupun harga sepatu itu terbilang murah, tetapi Agnes tidak mau menyepelekan masalah produksi. Ia tetap membuat sepatu dari bahan baku batik berkualitas dan bahan kulit yang bermutu. "Pemilihan corak batik juga penting agar cocok dibuat sepatu," kata dia.
Dalam bisnis ini, keluhan Agnes hanya satu: susahnya mencari tenaga kerja. Sebab, bisnis ini butuh tenaga kerja yang terampil, handal, serta kreatif. "Faktor tenaga kerja sangat penting karena sepatu kami ini buatan tangan atau hand made," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News