Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi
Semangat bisnis Agnes Tandia, pemilik gerai sepatu dan sandal Kulkith asal Bandung pantas diacungi jempol. Bermula dari memroduksi jaket batik, ia mengolah sisa kain batik dari hasil potongan jaket batik menjadi sepatu dan sandal cantik. Tak hanya pembeli lokal, sepatu dan sandal Kulkith banyak diminati oleh orang Malaysia.
Siapa bilang kain sisa hasil potongan harus berakhir di tong sampah? Di tangan kreatif Agnes Tandia, kain perca batik itu bisa berubah menjadi produk bernilai guna, yakni sepatu dan sandal batik. Dari hasil mengolah kain perca itu, Agnes sekarang mampu mendulang omzet hingga puluhan juta rupiah.
Saat membangun bisnis pertama kali, mojang asal Priangan itu tidak langsung mengolah kain perca batik. Tahun 2008, ia memulai usaha dengan memproduksi jaket berbahan baku batik dengan modal Rp 500.000. Jaket batik itu ia pasarkan ke teman-temannya. "Lumayan untuk tambahan uang kuliah yang semakin mahal," kata Agnes yang waktu itu kuliah di jurusan Kriya Tekstil, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lantaran modal terbatas, saat itu, mojang Badung ini hanya melayani pesanan saja. Seiring pesanan yang terus bertambah serta modal yang semakin membesar, Agnes terus menambah kapasitas produksinya.
Dampaknya, limbah berupa potongan kain batik pun terus menumpuk. Agar tidak terbuang sia-sia, Agnes memutuskan mengolah limbah perca batik itu menjadi produk yang bernilai ekonomis.
Agnes pun mencoba merangkai perca batik itu menjadi sepatu dan sandal. Pertimbangannya, sepatu dan sandal tidak membutuhkan bahan baku yang banyak.
"Saya bisa manfaatkan perca itu dengan motif yang tidak beraturan," kata Agnes yang menyematkan nama Kulkith untuk produknya itu. Nama Kulkith diambil dari cool kid, yang sengaja diambil mengikuti pelafan daerah asalnya, Sunda.
Berbekal ilmu desain, Agnes memadukan unsur tradisional dan modern untuk sepatu dan sandal dari perca batik itu. Agnes juga terus berusaha mengadopsi tren terbaru agar tak ketinggalan mode. Agar lebih menarik, Agnes juga memadukan karya sepatu dan sandal itu dengan bahan lain, seperti kulit, kanvas, dan jins. Lagi-lagi, teman-teman Agnes menjadi sasaran pasar utama sepatu dan sandal berbahan limbah itu.
Agar produknya makin di kenal publik, tahun 2009, Agnes mengikuti pameran Inacraft di Jakarta. Dalam pameran itu, Agnes aktif menyebar brosur serta menyebarkan kartu nama kepada pengunjung. Ia juga memanfaatkan situs jejaring sosial Facebook sebagai media pemasaran. "Tak disangka respon penjualan secara online sangat bagus," terang Agnes yang sekarang memiliki lima orang karyawan itu.
Berkat berbagai kanal pemasaran itu, peminat karya Agnes terus bertambah. Apalagi, saat ini, Agnes juga sudah memiliki beberapa gerai yang ada di wilayah Pasteur, Bandung serta di pusat perbelanjaan Grand Indonesia. Pengunjung gerai tak hanya dari lokal tapi juga dari negeri jiran, Malaysia.
Dibantu oleh lima orang karyawanya, Agnes mampu meproduksi 500 pasang sepatu dan sandal setiap bulan. Saat pesanan membludak, yakni menjelang lebaran, Agnes menambah karyawan.
Agnes membanderol sepatu dan sandalnya dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 140.000 hingga
Rp 250.000, tergantung bahan dan ukuran. Dari dua gerai miliknya serta penjualan secara online, Agnes mengaku meraup omzet hingga
Rp 60 juta per bulan.
Melihat peluang pasar yang masih begitu besar, Agnes kini berencana untuk membuka gerai di Bali dan Kualalumpur, Malaysia.
Dari riset kecil yang dilakukannya, pembeli dari Malaysia adalah target pasar yang potensial. "Pasar Malaysia masih terbuka luas," ujarnya. Bahkan, mojang Bandung ini telah mantap menggeluti sepatu dan sandal perca batik sebabgai bisnis utamanya. Usaha jaket batik jadi usaha pendamping.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News