kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Agung, anak dokter yang sukses berbisnis limbah


Kamis, 15 Maret 2012 / 16:09 WIB
Agung, anak dokter yang sukses berbisnis limbah
ILUSTRASI. Arsenal vs Olympiakos di Liga Europa: Lengah sedikit, The Gunners bisa dapat kejutan. Pool via REUTERS/Laurence Griffiths


Reporter: Fransiska Firlana | Editor: Tri Adi

Fokus pada satu bidang dan berkomitmen pada kualitas menjadi kunci sukses Agung Sri Hendarsa dalam membesarkan PT Aozora Agung Perkasa. Baru tiga tahun jalan, perusahaan pengolahan air bersih dan air limbah ini beromzet miliaran rupiah.

Limbah menjadi persoalan pelik bagi industri. Tapi, bagi PT Aozora Agung Perkasa, limbah merupakan sumber pendapatan. Lihat saja, meski baru berdiri sejak tahun 2009, perusahaan yang bergerak di bisnis pengolahan air bersih dan air limbah itu telah membukukan pendapatan Rp 10 miliar tahun 2011 lalu. Dua bulan pertama di 2012, pendapatan Aozora telah mencapai Rp 11 miliar.

Pencapaian kinerja yang pesat ini tidak lepas dari kegigihan sang empunya perusahaan itu, yakni Agung Sri Hendarsa. “Tahun 2009, pendapatan kami hanya Rp 50 juta. Tahun 2010, nilai omzet meningkat menjadi Rp 5,5 miliar,” ujar pria kelahiran Temanggung, 8 November 1977 ini, bangga.

Beberapa perusahaan yang limbahnya ditangani Aozora antara lain Santos, Pertamina, Dahana (BUMN di industri bahan peledak), dan Astra Otopart. Pencapaian bisnis ini tidak diperoleh Agung dengan mudah. Semua berawal dari kesabaran dan keseriusannya belajar tentang limbah. “Saya banyak belajar dari orang Jepang. Mereka sukses karena fokus terhadap bidang usaha yang dijalaninya,” ujarnya.

Jika dirunut, Agung sudah memutuskan berkonsentrasi di pengolahan limbah sejak duduk di bangku sekolah menengah atas di Pekalongan, Jawa Tengah. Dia memulai dengan ikut penelitian remaja. Saat duduk di bangku kuliah, bapak dua anak ini melanjutkan penelitian tentang limbah batik. “Setelah lulus S-1 Teknik Kimia di Universitas Gadjah Mada pada 2000, saya mendapat beasiswa kuliah jangka pendek selama setahun di Jepang,” kenangnya.

Setahun belajar di Jepang, Agung kepincut melanjutkan S2 di Negeri Samurai itu. Karena tidak ada biaya, anak dokter puskesmas ini bekerja serabutan. Ia menjadi tukang cuci piring, cuci mobil, karyawan di pabrik tahu dan pabrik plastik, serta petugas pembersih salju. “Ternyata, belajar di Jepang itu butuh fokus. Saya men-DO-kan diri,” katanya.

Pada tahun 2002, Agung pulang ke Indonesia dan bekerja di sebuah perusahaan kimia. Tapi, ia hanya bertahan setahun lantaran lolos seleksi mendapatkan beasiswa kuliah S2 di Jepang. “Kali ini bekal saya cukup. Saya tidak bekerja sebagai tukang cuci lagi, tapi sebagai asisten dosen,” ujar suami dari Valleria ini.


Berdiri di kaki sendiri

Selesai mengantongi gelar S-2, Agung pulang ke Tanah Air dan dipercaya menjadi general manager sebuah perusahaan asal Jepang yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Karena ketidakcocokan dengan manajemen, Agung mundur dari perusahaan itu pada tahun 2008. Seorang investor dari Surabaya sempat mengajaknya bekerja sama. Tapi, lantaran perbedaan prinsip, ia mundur.

Tak bertahan lama menganggur, Agung dipercaya mengelola perusahaan biodiesel oleh investor di tahun 2008. Tapi, perusahaan ini terpaksa ditutup lantaran investor kehabisan modal akibat krisis keuangan global. “Pada Maret 2009, saya di-PHK, persis menjelang kelahiran anak saya dan sedang merenovasi rumah, Jadi klop sudah,” katanya. Alhasil, selama dua bulan, Agung menganggur.

Dengan bermodal kartu nama dan berkantor di lantai dua rumahnya, Agung membuka jasa konsultan engineering design. “Klien pertama saya pabrik lem. Saya mendapat fee Rp 12 juta,” kenangnya. Akhirnya, dia bertemu seorang teman, Henri Prakoso, yang mencetuskan ide usaha pengolahan limbah.

Agung sadar, usaha barunya ini membutuhkan legalitas agar membangun kepercayaan calon klien. Untuk itu dia merogoh uang Rp 20 juta untuk mendirikan PT Aozora Agung Perkasa di Juli 2009. “Ternyata legalitas saja tidak cukup, butuh curriculum vitae (CV) perusahaan untuk meyakinkan calon klien, karena perusahaan kami belum menangani proyek,” ujarnya.

Agung pun mencoba mengikuti tender proyek meski tak yakin menang. “Tujuan utama saya ikut tender supaya nama perusahaan nampang di list peserta tender. Dari situ, nama kami akan pelan-pelan dikenal,” katanya sambil terkekeh. Pelan tapi pasti, beberapa perusahaan besar mulai berdatangan menjadi klien Aozora.

Agung terus memperkuat nama Aozora. Hanya bermodal Rp 20 juta, dia berani membuka cabang di San Diego, Amerika Serikat, pertengahan 2010 silam. “Pembukaan cabang di Amerika Serikat ini juga bertujuan agar nama Aozora menjadi lebih prestise. Lagi pula saya hanya membutuhkan waktu seminggu untuk membuka cabang,” tuturnya.

Agung bilang, pengembangan bisnis ini sangat terbantu oleh timing yang tepat. Ketika isu tentang kerusakan lingkungan dan global warming merebak, jasa pengolahan air bersih dan air limbahnya kian dilirik orang. “Pengolahan limbah butuh biaya banyak. Karena itu saya berusaha berinovasi pengolahan limbah bagi pelaku UKM,” ujar Agung yang melanjutkan S-3 di Universitas Indonesia ini.

Satu lagi kisah inspiratif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×