Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Tri Adi
Besar di keluarga serba kekurangan secara ekonomi membuat Ali Muharam menjadi sosok pekerja keras. Dia bekerja serabutan untuk mencari uang setelah lulus SMA. Hingga di tahun 2012, tercetus ide untuk menjajal berjualan makaroni.
Sebelum mencecap sukses seperti sekarang, banyak hal pahit yang dilalui Ali Muharam dalam hidupnya. Semasa remaja kondisi keuangan keluarga kurang baik lantaran ayahnya telah tiada. Otomatis hanya ibunya yang membiayai kehidupan keluarga dengan lima anak.
Dia pun tidak melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi setelah lulus SMA karena tidak ada biaya. Setelah itu hidupnya luntang lantung menjadi pengangguran. Dia sempat beberapa kali kerja serabutan untuk mendapatkan uang hari itu untuk makan.
Ali bercerita, dia pernah bekerja di warung makan untuk memotong sayuran dari pagi hingga malam dan hanya mendapat upah Rp 5.000 per hari. Selain itu dia pernah menjadi tukang angkat barang di sebuah event organizer dan menjadi tukang fotokopi serta tukang ketik kop surat di sebuah kantor pemerintahan.
Ali juga pernah menjadi penulis skenario selama tiga tahun sejak 2008 hingga 2011 di Sinemart. Namun, semua pekerjaan yang dia jalani dianggap belum bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Ide pun tercetus untuk menjalankan usaha camilan makaroni.
Ide itu tidak begitu saja datang. Ibu sejak dulu suka membuat makaroni untuk camilan di rumah ataupun disajikan untuk tetangga. “Setiap Lebaran tiba beberapa saudara mencoba dan menyukai makaroni buatan ibu,” ujarnya.
Tepat di tahun 2012, Ali pun berani untuk berjualan makaroni untuk melihat potensinya di pasaran. Pertama kali dia menjajal berjualan di area kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung menggunakan gerobak milik tukang tahu yang usahanya tak berkembang. “Modal hanya Rp 300.000 untuk bahan baku yang tidak sampai 1 kg,” ungkapnya.
Hanya sebulan berjualan di Bandung, Ali melihat potensi usaha makaroni bagus dan mendapat tempat di hati pelanggan. Tetapi karena modal belum cukup kuat, ia pun mengambil langkah untuk menjadi penulis skenario kembali. Lalu duka kembali menyelimutinya ketika ibunya meninggal pada tahun 2013. “Saya sempat terpuruk karena saya ingin bangun bisnis makaroni ini untuk membahagiakan ibu,” ujarnya.
Namun dia tidak ingin lama-lama dirundung kesedihan. Ali kemudian pergi ke Jakarta seorang diri untuk menjajal bisnis ini. Kampus Bina Nusantara, Rawa Belong, menjadi lokasi incarannya selanjutnya. Dengan modal nekat, ia berkeliling mencari tempat usaha.
Setelah mendapat tempat usaha untuk menjalankannya, Ali meminjam uang kepada temannya sebesar Rp 20 juta untuk modal usaha. Itu dengan syarat, temannya akan mendapatkan 30% dari omzet yang dia dapat.
Respon yang didapat saat pertama kali membuka usaha di sekitar kampus cukup membuat Ali optimistis. Beberapa pengunjung yang lewat ada yang sekadar melihat dan foto-foto di depan gerai karena nama merek usaha yang dia pilih nyeleneh. Pertama kali menjual Makaroni Ngehe, dia membuat 1.000 bungkus dengan rasa asin dan pedas. Harga jual sekitar Rp 1.000-Rp 5.000 per bungkus. “Hari pertama jualan, saya hanya dapat uang Rp 35.000,” ungkapnya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News