kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Andreas tumbuhkan kreativitas penderita autis dengan sekolah alam


Rabu, 07 Desember 2011 / 14:01 WIB
Andreas tumbuhkan kreativitas penderita autis dengan sekolah alam
ILUSTRASI. Nasabah melakukan transaksi di salah satu bank swasta di jakarta, Senin (5/10). /pho KONTAN/Caarolus Agus Waluyo/05/10/2020.


Reporter: Fahriyadi | Editor: Tri Adi

Stigma negatif tentang masa depan Anak berkebutuhan Khusus (ABK) atau penderita autis, menggugah Andreas Sukendro mendirikan sekolah alam untuk mereka. Dengan sistem pengajaran khusus, ia ingin menumbuhkan kreativitas dan keterampilan pada anak-anak tersebut. Harapannya, mereka bisa mandiri dan bersaing di masa depan.

Bakat dan kreativitas bukan hanya dimiliki oleh anak-anak normal. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) juga mampu berkreasi bila mendapat penanganan tepat, yakni melalui pendidikan.

Andreas Sukendro pun melihat potensi ini. Itulah sebabnya ia mendirikan Sekolah Alam Medan. Sekolah yang terletak di Jalan Bunga Wijaya Kusuma, Pasar Empat, Kecamatan Padangbulan, Medan, sudah beroperasi sejak 20 Februari 2008. "Saya mencoba mengikis stigma buruk bahwa ABK tak bisa mandiri dan selalu bergantung pada orang lain," tandasnya.

Di sekolah ini, ia pun tidak memberi materi pelajaran seperti sekolah umum. Namun, berupa pendekatan personal, lingkungan, serta pengajaran keterampilan untuk menghasilkan produk yang bisa dijual. "Keterampilan menjadi modal penting bagi anak-anak ini untuk bisa bersaing. Karena jika mengandalkan cara berpikir rasanya hampir tak mungkin," ujarnya.

Andreas melatih para siswanya untuk menghasilkan beragam produk daur ulang. Sampah kertas dan plastik disulap menjadi tas dan keranjang.

Selain itu siswa dibekali keterampilan merajut dan berkebun. Mereka menanam jamur tiram yang dipasarkan ke beberapa wilayah melalui acara pameran atau situs jejaring sosial. "Keuntungan penjualan tersebut menjadi milik siswa dan kami juga mengajarkan mereka untuk selalu menabung untuk jerih payah itu," jelas Andreas.

Bagi Andreas, arti penting sekolah ini untuk sarana pengembangan keterampilan yang didukung oleh suasana alam. Ia sengaja memilih alam sebagai tempat belajar untuk memberi ketenangan. "Sekolah ini jauh dari pusat keramaian dan bebas dari kebisingan," tutur Sarjana Teknik Elektro Univesitas Trisakti Jakarta ini.

Sekadar informasi, Sekolah Alam Medan ini berdiri di atas lahan seluas tiga hektare. Fasilitas yang tersedia di sana, antara lain enam saung dan sepetak kebun. "Sejauh ini lahan tersebut masih kami sewa dengan dana dari orang tua siswa," ujarnya.

Hanya, Andreas belum bisa memberikan pendidikan ini secara gratis, karena biaya operasional yang cukup besar. Namun demikian, para orang tua tetap bisa membayar iuran sekolah secara sukarela.

Meski begitu, dalam sebulan, Andreas bisa mengumpulkan dana lebih dari Rp 70 juta, yang berasal dari iuran dan penjualan berbagai produk. "Dana tersebut kami putar kembali untuk penyewaan lahan sekolah, gaji pengajar, biaya operasional, dan bahan materi keterampilan siswa," terang Andreas.

Sebenarnya peminat sekolah ini cukup besar. Sayang, sekolah alam ini belum bisa menampung banyak siswa karena tenaga pengajar masih terbatas.

Kini, Sekolah Alam Medan ini baru memiliki 20 tenaga pengajar khusus ABK. "Selain mengajar ABK, guru yang mengajar di sini juga mampu mengajar di sekolah umum," ujarnya.

Pria yang sempat 10 tahun bekerja di perusahaan konstruksi ini mengklaim, melalui metode pengajaran di sekolah ini, beberapa ABK dinyatakan sembuh dan bisa masuk ke sekolah umum.

Bukan itu saja, sejak satu tahun lalu, ia juga merangkul anak normal untuk belajar di sekolah ini. "Kami berhasil meyakinkan orang tua yang memiliki anak normal untuk sekolah di sini dan ini menjadi hal positif bagi para ABK," lanjutnya.

Kehadiran anak normal ini diharapkan dapat memberi semangat bagi ABK untuk bisa hidup normal dan mampu berbaur dengan lingkungan serta bisa mandiri.

Untuk anak-anak normal, Andreas mengajarkan materi pelajaran berbasis kurikulum dengan penambahan pelajaran aplikasi keterampilan. Andreas berharap, sekolahnya ini bisa memperoleh dukungan pemerintah daerah guna membantu penderita autis dari keluarga tak mampu yang cukup banyak di Medan.

Sejauh ini, untuk mengakomodasi orang tua siswa yang tak mampu, pihaknya memberlakukan subsidi silang, namun jumlahnya masih sangat sedikit. "Kami memperkirakan jumlah ABK di Medan lebih dari 1.000 orang," jelas Andreas yang kini mencurahkan seluruh waktunya untuk mengelola sekolah alam ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×