Reporter: Fahriyadi, Gloria Natalia | Editor: Tri Adi
Tak ada yang menyangkal, komik buatan anak-anak bangsa dengan cerita asli Indonesia masih kalah tenar dengan komik impor. Namun, komik dalam negeri terus berkembang dan lima tahun ke depan bakal menjadi penantang serius komik asing.
Kreativitas anak-anak bangsa tidak kalah dibandingkan dengan warga negara lain, termasuk dalam pembuatan cerita bergambar seperti komik. Walau masih kalah tenar dengan komik Jepang atau manga dan komik impor lain, komik buatan dalam negeri dengan cerita asli Indonesia sejatinya tak kalah hebat dan menarik.
Azisa Noor, komikus muda yang sering membikin komik dengan cerita asli Indonesia, menyatakan, industri komik Tanah Air memang masih belum sebesar di luar negeri. Makanya, sampai saat ini, dirinya hanya mampu mendapatkan royalty sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta dalam sebulan. Maklum, peminatnya belum terlalu banyak. Itu sebabnya, penerbit baru berani mencetak komik bikinan Azisa sebanyak 5.000 eksemplar, tak lebih.
Sejak berkiprah sebagai komikus profesional sejak 2002 lalu, perempuan 23 tahun ini sudah menelurkan 12 judul komik. Salah satunya, berjudul Satu Atap. Seluruh komiknya mengambil tema remaja dengan menonjolkan sisi interaksi dan sentuhan persahabatan yang kental. "Saya mengambil cerita yang erat dengan kehidupan sehari-hari," ungkap lulusan Fakultas Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Karena itu, komik buatan Azisa identik dengan kehidupan remaja masa kini. Meski komik-komik Indonesia ceritanya lebih membumi, Azisa mengatakan, masyarakat kita masih menganggap membuat komik sebagai hobi semata. Masyarakat belum bisa menerima penuh bahwa komikus sudah layak dijadikan sebagai profesi.
Sebetulnya, anggapan masyarakat itu ada benarnya. Sebab, Azisa menuturkan, sejarah industri komik dalam negeri mengalami pasang surut. Walaupun belum sampai pada titik puncak, industri komik kita pernah tenggelam pada tahun 1990-an hingga awal 2000. "Makanya, sekarang saya sangat mengapresiasi kemunculan komik baru lokal rata-rata tiga judul setiap bulan," tuturnya.
Toh, Azisa optimistis, prospek komik Indonesia sangat menjanjikan ke depannya. Apalagi, kalau tema yang diangkat tetap mempertahankan cerita-cerita asli Indonesia. Dengan tema itu, komik dapat berperan mempertegas identitas bangsa.
Produksi komik Indonesia yang bagus juga akan melunturkan pandangan masyarakat bahwa komik yang bagus hanya dari luar negeri. "Bukan saatnya lagi kita menjadi penonton. Kita harus bergerak menjadi pelaku dalam mengembangkan komik Indonesia," tegas Azisa.
Bahkan, bukan tidak mungkin, dalam lima tahun ke depan, komik Indonesia bisa menjadi industri besar yang mampu bersaing dengan komik-komik impor.
Cerita yang menonjolkan unsur budaya juga akan menjadi daya tarik sendiri, sehingga komik lokal bisa menantang dominasi komik asing terutama Jepang.
Ini bukan mustahil Soalnya, teknologi dan visualisasi gambar komik Indonesia pun sudah sejajar dengan komik luar negeri. Terlebih, Azisa mengungkapkan, beberapa komikus kita direkrut untuk ikut bergabung membuat komik di luar negeri.
Fajar Buana, komikus asal Semarang, Jawa Tengah menjelaskan, untuk memproduksi satu judul komik butuh tim yang beranggotakan empat sampai lima orang. Selain ada yang membuat naskah, ada juga yang bertugas menggambar dengan pensil dan tinta. "Kita juga sering menerima pesanan dalam bentuk naskah," katanya.
Memang, perlu proses yang panjang dari naskah mentah menjadi komik jadi. Tahapannya, pertama-tama membuat story board berdasarkan naskah yang masuk untuk menyusun cerita setiap adegan. Setelah itu, komikus dapat bekerja menggunakan pensil untuk menggambar bentuk kasarnya.
Anggota tim lain kemudian akan menebalkan warna gambar dengan tinta dan dipindai ke komputer untuk diwarnai. "Masa kerja membuat satu komik tidak tentu. Komik 160 halaman bisa dikerjakan dalam waktu enam bulan," ungkap Fajar yang bersama lima rekannya mendirikan Papillon Studio. Fajar dan teman-temannya biasa memproduksi komik bertema nasionalisme, super hero, olahraga dan drama. "Tema tergantung pesanan penerbit," ujarnya.
Misalnya, saat ini, Fajar sedang mengerjakan pembuatan komik yang diambil dari film berjudul Lastri. Nantinya, komik tersebut akan keluar bersamaan dengan peluncuran filmnya.
Selain menggarap komik dalam negeri, Papillon Studio juga kerap mengerjakan pesanan komik luar negeri. Beberapa negara yang datang memesan adalah, Amerika Serikat, Australia, dan Hong Kong. Bahkan, Fajar menambahkan, seseorang dari Afrika Selatan mengontrak timnya untuk mengerjakan komik selama dua tahun penuh. "Dari Indonesia pesanan datang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan distro pakaian," katanya.
Di saat senggang, Papillon Studio akan membuat komik bebas dengan tema nasionalisme dan sindiran atas ketidakadilan. Selain di jual, komik-komik itu akan dipajang lewat internet.
Dalam sebulan, Fajar dan timnya mampu mengantongi penghasilan rata-rata sekitar Rp 5 juta. Masih kecil memang. Namun, "Sekarang banyak orang-orang bertalenta besar membuat komik di Indonesia. Itu hebat," kata pria 34 tahun ini. Bahkan, Fajar bilang, banyak juga komik produksi anak-anak bangsa yang diterbitkan di luar negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News