Reporter: Mona Tobing, Handoyo | Editor: Tri Adi
Plastik dan styrofoam adalah jenis sampah yang tak mudah terurai di tanah. Meski menjadi musuh bagi lingkungan, styrofoam tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sampah styrofoam ini masih bisa dipakai sebagai bahan baku batako yang sudah pasti ramah lingkungan.
Batako berbahan baku styrofoam memang belum sepopuler batako biasa yang mudah ditemukan di toko material. Maklum, belum banyak orang yang mengenal dan tahu manfaat dari batako styrofoam. "Saya sendiri baru mengenal batako sytrofoam tahun 2006," kata Marzuki, anggota Paguyuban Sukunan Bersemi yang mengelola styrofoam menjadi batako.
Marzuki memutuskan untuk mengelola limbah styrofoam menjadi batako lantaran mudahnya ditemukan styrofoam di sekitar lingkungannya. Ia menjaring warga Kampung Sukun, Yogyakarta, mengelola styrofoam menjadi batako.
Pembuatan batako dari styrofoam sangat sederhana sehingga tidak perlu keahlian khusus. "Yang penting takaran bahan bakunya tepat," kata Marzuki.
Bahan baku styrofoam memang mendapat porsi lebih banyak dibandingkan dengan bahan baku lainnya. Komposisinya 50% styrofoam, 40% pasir, dan 10% semen. Marzuki mengatakan, penggunaan styrofoam bisa menghemat 50% kebutuhan pasir ketimbang penggunaan batu bata.
Bahan baku styrofoam juga lebih unggul dibandingkan dengan semen karena dalam styrofoam terkandung banyak serat. Ini membuat fondasi bangunan yang menggunakan styrofoam lebih kuat.
Bahkan Marzuki yakin batako ini tahan guncangan. Uji coba pernah dilakukan Universitas Gajah Mada terhadap batako dari styrofoam. "Bahan material styrofoam ternyata tahan gempa," ujar Marzuki. Makanya, batako jenis ini disarankan sebagai bahan material rumah agar bangunan lebih kokoh.
Surani, pemain lain yang juga memproduksi batako dari limbah styrofoam, menjelaskan proses pembuatannya. Ada empat tahap pembuatan batako styrofoam: Pertama, styrofoam yang berbentuk lembaran digiling sampai hancur menjadi butiran-butiran kecil. Kedua, butiran styrofoam dicampur dengan pasir dan semen. "Untuk komposisinya sebanyak 80% dari styrofoam lalu dicampur 20% dari pasir dan semen," kata Surani.
Surani menambahkan air secukupnya pada adonan agar lengket. Tahap ketiga adalah proses pencetakan dari adonan bahan baku dengan menggunakan mesin pencetakan. Keempat, penjemuran batako styrofoam yang memerlukan waktu setengah hari. Lamanya waktu penjemuran juga bergantung pada jumlah semen yang digunakan. "Makin sedikit semen yang digunakan, waktu pengeringannya juga lebih singkat," tandas Surani.
Batako styrofoam memiliki ciri fisik hampir sama dengan ukuran bata merah. Namun, batako dari hasil limbahan styrofoam ini memiliki keunggulan dibanding dengan bata merah. Selain lebih mudah dalam pemasangan, menurut Marzuki, batako styrofoam mampu meredam suara sehingga sangat cocok digunakan pada bangunan untuk studio band. "Ini karena kandungan serat pada styrofoam sebagai bahan baku batako cukup tinggi," kata Marzuki.
Sifat styrofoam yang mengikat akan membuat batako kuat. "Cocok untuk daerah rawan gempa dan bangunan yang tinggi," papar Marzuki. Bobotnya yang ringan menjadikan pemasangan batako ini juga lebih cepat.
Meski pesanan batako styrofoam belum terlalu banyak, Surani yakin masyarakat akan makin banyak yang memesan batako styrofoam. Apalagi sekarang ini, tren penghijauan tengah mewabah dan banyak orang yang membangun konstruksi rumah dengan konsep ramah lingkungan. Belum lagi kelebihannya sebagai bahan bangunan konstruksi yang tahan gempa.
Surani yakin batako styrofoam akan booming. Awal tahun ini saja, Surani mengaku pesanan pada batako ini lebih bagus dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Banyak orang yang mencari material bangunan yang ringan karenanya selalu ada peningkatan pesanan pada batako styrofoam," kata Surani.
Saat ini Surani, dengan dibantu lima orang pegawainya memproduksi batako dari limbah styrofoam kurang lebih 600 buah per hari. Dia memproduksi 200 buah batako kecil dengan ukuran 40 x 20 x 9 sentimeter (cm), dan 400 batako berukuran 60 x 20 x 10 cm. Harga batako styrofoam ini bervariasi. Batako ukuran kecil dengan lubang d itengahnya harganya Rp 2.000. Adapun batako dengan ukuran besar seperti bata ia jual dengan harga Rp 4.000 sampai Rp 5.000 per buah.
Harga batako berbahan styrofoam memang lebih mahal dibandingkan dengan jenis batako biasa. Surani mengungkapkan, mahalnya harga tersebut karena menggunakan bahan baku seperti semen dan pasir.
Surani bisa mencetak omzet Rp 10 juta saban bulan dari penjualan batako styrofoam. Untuk pemasarannya, Surani baru dapat menjangkau pasar lokal di Jakarta, meskipun permintaan yang datang dari Jawa Barat sudah banyak. "Modal saya masih terbatas sehingga permintaannya saya tunda dulu," kata Surani.
Sementara itu, Marzuki hingga kini belum mengomersialkan batako styrofoam buatannya. Ia baru mengajarkan pembuatan batako dari limbah styrofoam ke warga tahun 2007. "Karena diproduksi oleh warga kampung sini, kami menggunakannya untuk bahan bangunan di Sukunan," papar Marzuki.
Batako styrofoam buatan kampung Sukunan ini baru dipakai untuk lima fasilitas umum berupa penampungan sampah Sukunan. Namun, belum ada warga Sukunan yang memakai batako tahan gempa ini untuk membangun rumah mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News