kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berdayakan warga dan difabel berbisnis batik (2)


Selasa, 18 Februari 2014 / 14:52 WIB
Berdayakan warga dan difabel berbisnis batik (2)


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Havid Vebri

Dea Valensia Budiarto menyandang gelar sarjana di usia yang masih cukup belia. Ia lulus dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Tangerang program studi Sistem Informasi tahun 2013 pada usia 19 tahun.

Dea mengaku, sejak usia 22 bulan sudah dimasukkan orangtuanya ke play group. Lalu pada usia lima tahun mulai masuk Sekolah Dasar (SD). Lulus SD usia 11 tahun langsung melanjutkan pendidikan lanjutan ke Karangturi Internasional School di Semarang.

Di sana, ia menyelesaikan sekolahnya selama empat tahun dan kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi di usia 15 tahun. "Aku mengikuti kelas internasional biar lebih cepat masuk kuliah," ujarnya.

Saat memulai usaha Batik Kultur di Semarang, Dea masih kuliah semester tiga. Kendati kuliah di Tangerang, tidak ada kendala baginya merintis bisnis di Semarang.

Untuk mengakali persoalan waktu dan jarak itu, ia sengaja mengambil kuliah pada hari Selasa sampai Kamis. Lalu pada hari Jumat ia pulang ke Semarang untuk mengelola usahanya yang kala itu masih dibantu dua orang karyawan. "Jumat saya pulang naik pesawat, lalu hari Selasa pagi balik lagi ke Jakarta," tutur Dea, mengenang.

Dea merintis bisnis batik dari nol. Bisnis ini dimulai dengan memanfaatkan lembaran kain batik kuno milik ibunya yang sudah mulai rusak.
"Saat awal memulai, saya saya punya 30 potong batik kuno hasil koleksi saya dan juga miliki ibu," ujarnya.

Lembaran kain batik kuno itu diguntingnya sesuai pola yang dia suka. Dari situ jadilah 20 potong pakaian untuk produksi perdananya. Beruntung Dea memiliki paras cantik sehingga tak perlu mencari model untuk memamerkan busana hasil produksinya. Ia sendiri yang menjadi model Batik Kultur dan kemudian dipasarkan lewat Facebook.

Dalam berbisnis ia memiliki prinsip tidak akan menjual barang yang ia sendiri tidak suka. Alhasil, semua produknya laris manis. Seiring berjalannya waktu, bisnisnya terus berkembang. Jumlah karyawannya juga terus bertambah. Setelah lulus kuliah, gadis yang lahir di hari Valentine ini kembali ke Semarang dan fokus mengelola usahanya.

Kini, ia sudah memiliki 38 karyawan dengan kapasitas produksi mencapai 800 potong pakaian setiap bulannya. Ada yang menarik dari karyawan Dea. Ia memperkerjakan masyarakat di sekitar domisilinya yang memiliki kesulitan ekonomi dan orang-orang difabel.

Ia mempekerjakan tiga tuna wicara dan empat tuna rungu. Gadis yang akan segera berusia 20 tahun ini memang ingin terus memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. “Saya ingin memberikan mereka kesempatan di balik kekurangan mereka,” katanya.

Kendati beberapa karyawannya cacat, bisnis yang dikelolanya justru tambah maju. Bahkan batik produksinya kini banyak diminati konsumen di luar negeri.

Hingga saat ini, konsumen Dea dari belasan negara. Selain lewat Facebook, konsumen itu dia dapat dari sejumlah pameran, di dalam dan luar negeri. Di luar negeri, ia pernah mengikuti pameran di Jepang. Dari pameran itu usahanya terus berkembang.                     

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×