kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.909.000   5.000   0,26%
  • USD/IDR 16.300   0,00   0,00%
  • IDX 7.231   117,32   1,65%
  • KOMPAS100 1.056   17,89   1,72%
  • LQ45 813   11,10   1,38%
  • ISSI 232   2,76   1,20%
  • IDX30 423   5,92   1,42%
  • IDXHIDIV20 496   6,77   1,38%
  • IDX80 118   1,45   1,24%
  • IDXV30 120   1,17   0,98%
  • IDXQ30 137   1,74   1,29%

Berkat turis, tercetus ide jadi perajin batok (2)


Rabu, 04 September 2013 / 15:03 WIB
Berkat turis, tercetus ide jadi perajin batok (2)
ILUSTRASI. Tanaman Hidroponik


Reporter: Noor Muhammad Falih | Editor: Dupla Kartini

Lewat Umi Handicraft, Muhlis sukses mengangkat derajat limbah batok kelapa menjadi kerajinan bernilai jual tinggi. Bahkan, hasil karyanya menembus pasar ekspor. Namun, perjuangannya merintis dan membesarkan usaha tidak mudah. Ia mengawali perantauannya ke Yogyakarta dengan bekerja serabutan.

Pria 39 tahun ini sejatinya lahir dan dibesarkan di Madura, Jawa Timur. Lantaran keterbatasan ekonomi keluarga, setelah tamat dari Sekolah menengah Atas (SMA) pada 1992, ia merantau ke Yogyakarta.   

Singkat cerita, ia harus kerja serabutan di sana. Maklum, tidak ada keluarga yang bisa menjadi sandaran hidup sehari-hari. Bahkan, tak jarang ia terpaksa tidur di Malioboro karena tidak mampu bayar kontrakan. “Saya sempat bantu-bantu pedagang kaki lima, angkat-angkat barang mereka setiap pagi untuk membuka kios di Malioboro. Upah saya Rp 5.000 per hari," kenangnya.

Ia juga pernah bekerja sambilan di tempat pembuatan kerajinan dari bahan kulit. Di sanalah ia mulai belajar cara membuat sebuah kerajinan.

Hingga kemudian, ketika sedang membantu membuka kios para pedagang kaki lima di Maliboro pada 2001, seorang turis menyambangi kawasan itu. Turis asal Swedia itu menghampirinya sambil membawa tas tempurung kelapa. Kata Muhlis, turis itu sudah berkeliling sepanjang Malioboro, untuk menemukan perajin yang bisa menjual tas sejenis itu dalam jumlah besar.

Bermodal nekat, Muhlis malah menyanggupi tawaran sang turis. Memang, kala itu, belum banyak perajin yang mengolah batok kelapa menjadi kerajinan.

Maka, dengan uang pas-pasan, ia berangkat ke Bali untuk membeli beberapa contoh tas yang diinginkan turis tersebut. “Saya kasih ke dia, kemudian selang sebulan berikutnya ia menghubungi saya dan minta dikirimkan 1.000 buah tas,” tutur Muhlis.

Maka, dimulailah bisnis Muhlis. Ia memenuhi pesanan turis Swedia itu dengan membotong tas batok kelapa dari Bali. Melihat peluang tersebut, ia  terinspirasi untuk memproduksi sendiri, ketimbang membeli dari para perajin.

Alhasil, dengan modal Rp 500.000 hasil pinjaman adik iparnya, ia memulai produksi aksesori dari bahan batok kelapa. Uang tersebut ia gunakan untuk membeli bahan baku batok kelapa, bor, dinamo dan gergaji untuk memproduksi barang serupa. "Sejak awal, saya sudah menggunakan bendera Umi Handicraft," tutur bapak dua anak ini.

Awalnya, Muhlis menitipkan hasil produksinya ke  pedagang Malioboro dengan sistem konsinyasi. Ternyata, laku keras. Produknya mulai dikenal, hingga pada 2002 ia memiliki kios sendiri di Malioboro.

Permintaan yang masuk mencapai ribuan aksesori sebulan. Selain untuk dijual di kiosnya, hasil produksinya juga merupakan pesanan klien. Bahkan, beberapa pembeli berdatangan dari luar negeri, terutama dari Eropa dan Turki. Berkat kerja kerasnya, ia bisa membeli rumah di Yogyakarta.

Rumah itu pulalah yang ia jadikan agunan untuk meminjam modal tambahan dari sebuah bank nasional. Dengan pinjaman sebesar Rp 30 juta, ia mampu mendongkrak kapasitas produksinya menjadi belasan ribu unit sebulan. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×