Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Hendra Gunawan
Pelatihan dan pembinaan pembuatan Batik Sasirangan dari Kementerian Perindustrian membuka jalan bagi Maskur untuk menjajal usaha sebagai produsen batik. Waktu itu di tahun 1990, dia mendapatkan bantuan modal usaha berupa bahan baku lembaran kain dan pewarna kain.
Untuk menyiapkan bahan-bahan lainnya, Maskur merogoh kocek sebesar Rp 300.000. Di awal usaha, sang istri, Lailani Lathifah, membuat sendiri batik tersebut mulai dari proses merajut, melukis sampai pencelupan.
Lantaran belum ada produsen Batik Sasirangan di daerah tempat tinggalnya, sehingga Maskur belum memiliki pesaing. Ini membuat produknya cukup mudah diterima masyarakat. Dulu, menurut sejarahnya kain ini lebih banyak dicari untuk terapi penyembuhan penyakit oleh warga sekitar.
Lambat laut, batik buatannya makin banyak dicari konsumen. Produksi yang masih sangat terbatas membuatnya sedikit kewalahan. Akhirnya Maskur memutuskan untuk mencari karyawan lepas untuk membantu proses perajutan. Maklum saja, proses ini adalah proses yang paling lama dari pembuatan Batik Sasirangan.
Saat itu Maskur harus rela membawa bertumpuk-tumpuk kain saat berangkat kerja untuk dibagikan kepada para perajut yang lokasinya cukup jauh dari rumahnya. Maklum saja, kala itu Maskur masih bekerja sebagai karyawan di perusahaan kayu. Sore harinya, dia kembali berputar-putar kampung untuk mengambil kain rajutan yang sudah selesai.
Melihat besarnya potensi usaha di bidang batik ini, Maskur akhirnya memutuskan untuk fokus membantu sang istri membesut usaha kecil ini. Kebetulan juga, perusahaan tempatnya bekerja jatuh bangkrut karena berhenti produksi lantaran kesulitan mendapatkan bahan baku.
Pasangan suami istri ini mulai membagi tugas, sang istri Lailani fokus pada bagian produksi sedangkan sang suami Maskur fokus pada pemasaran. Meski Batik Sasirangan sudah dikenal oleh masyarakat Banjarmasin tapi tidak mudah untuk memasarkan produknya ke pasar yang lebih luas.
Maskur banyak melakukan promosi dengan cara penyebaran informasi dari mulut ke mulut. Cara ini dirasa paling ampuh untuk mendatangkan konsumen. “Karena si pembeli sendiri yang bercerita kepada teman-temannya,” katanya.
Maskur juga sempat memasang iklan pada media cetak setempat. Selain itu, dia juga banyak membuat spanduk dan banner. Usahanya pun berbuah manis, dia sering kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Maklum saja, jumlah pekerja yang belum mencukupi dan lamanya proses pembuatan membuat stok kain batik miliknya tidak banyak.
Kendala ini masih belum bisa dipecahkan sampai saat ini. Maskur kesulitan mendapatkan karyawan lepas untuk merajut. Tidak jarang, dia harus mencari perajut yang lokasinya jauh dari rumahnya. Sementara itu, permintaan terus meningkat baik dari pegawai pemerintahan maupun warga setempat. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News