kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bisnis angkringan masih nangkring


Minggu, 22 Juli 2012 / 19:25 WIB
Bisnis angkringan masih nangkring
ILUSTRASI. Pisang


Reporter: Noverius Laoli, Fahriyadi, Revi Yohana | Editor: Havid Vebri

Bisnis angkringan yakni bisnis makanan yang dinikmati dengan duduk di lantai terus melakukan invasi ke kota-kota besar. Berasal dari bahasa jawa angkring punya arti duduk santai.

Belakangan, angkringan justru lebih dikenal sebagai tempat jualan aneka makanan dengan gerobak dorong. Pembeli biasanya menikmati makanan di selembar tikar yang terhampar tak jauh dengan gerobak.

Awalnya, angkringan banyak dijumpai di pinggir jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kini, bisnis angkringan ini telah berkembang di sejumlah kota di Indonesia termasuk Jakarta dan sekitarnya Beragam makanan yang dijual seperti nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telur puyuh, keripik dan lain-lain.

Selain makanan, kita bisa juga menemukan aneka minuman seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Semua makanan itu dijual dengan harga terjangkau.

Kini, bisnis angkringan terus merambah ke daerah lain, salah satunya berkat tawaran kemitraan dari pebisnis ini. Apakah usaha ini masih menjanjikan? Berikut ulasan perkembangan usaha sejumlah kemitraan bisnis angkringan yang pernah diulas KONTAN.

• Angkringan Ki Asem

Pada Mei 2009 lalu, KONTAN mengulas tawaran kemitraan dari Angkringan Ki Asem asal Bekasi. Ki Asem yang berdiri pada tahun 2007 itu menawarkan kemitraan di 2008. Ki Asem memiliki delapan gerai, tiga diantaranya milik sendiri dan sisanya milik mitra.

Setelah kurang lebih tiga tahun beroperasi, Ki Asem mengalami perkembangan. Hal ini terlihat dari penambahan jumlah gerai milik sendiri. Menurut Sartono, pemilik Angkringan Ki Asem, saat ini mereka telah memiliki 14 gerai yang tersebar di Bekasi dan Jakarta, sembilan diantaranya milik sendiri dan lima milik mitra. "Kami terus menargetkan pertambahan outlet minimal tiga sampai empat tiap tahun," ujarnya.

Agar bisa menjaring banyak mitra, Sartono rajin berpromosi lewat iklan di media, terutama via internet. Ki Asem juga terus menjaga kualitas rasa agar pelanggan tetap datang. Sekali setahun, Ki Asem pasti menelurkan menu baru sehingga pelanggan mendapatkan rasa baru dan tidak bosan dengan menu lama.

Angkringan Ki Asem mengerek biaya investasi. Jika pada 2009 lalu, Ki Asem mematok biaya investasi Rp 15 juta, saat ini menjadi Rp 20 juta. Kenaikan menyesuaikan dengan harga barang-barang yang juga naik tiap tahun.

Dengan investasi itu, mitra berhak atas gerobak, meja dan kursi dengan kapasitas 20 orang. Mitra juga mendapat pasokan peralatan makan seperti nampan, dan teko yang diboyong Sartono langsung dari Solo.

Dengan investasi tersebut, Mitra diperkirakan bisa meraup omzet sekitar Rp 1 juta - Rp 1,5 juta per hari. Kalau tempatnya strategis bisa lebih tinggi lagi. Ki Asem juga memungut royalty fee sebesar 2% dari omzet mitra per bulan. Mitra diperkirakan akan balik modal dalam waktu 6 bulan - 8 bulan.

Soal kalau harga makanan, Sartono bilang, kenaikannya rata-rata sekitar 20% dari harga sebelumnya. Gorengan misalnya, semula harganya Rp 500 per potong, kini menjadi Rp 750 per potong.

• Solo Rasa Angkringan

Solo Rasa Angkringan berdiri di Malang, Maret 2010. Lalu sang pendiri, Anton Haekal mulai menawarkan kemitraan usahanya ini pada 2011 lalu. Saat KONTAN mengulas kemitraan angkringan yang diklaim menggabung konsep tradisional dan modern ini pada Maret 2011, Solo Rasa Angkringan baru memiliki dua gerai milik sendiri.

Kala itu, biaya investasi menjadi mitra Solo Rasa Angkringan bervariasi tergantung lokasi. Biaya investasi di Jawa Timur Rp 9 juta, Jawa Tengah Rp 19 juta, Jawa Barat Rp 25 juta, dan luar Jawa Rp 35 juta. Dengan omzet Rp 9 juta-Rp 15 juta per bulan, mitra diprediksi bisa balik modal sekitar enam bulan hingga setahun.

Medio 2012 ini, Solo Rasa Angkringan telah mengalami beberapa perubahan. Kata Anton, sampai saat ini ia telah menggaet dua mitra, yakni di Malang dan Bandung. "Khusus mitra di Bandung kami menggabungkan konsep kafe dan angkringan sekaligus," katanya.

Sedangkan untuk paket investasi, belum ada perubahan. Bahkan, Anton membuat terobosan dengan memberlakukan investasi fleksibel alias menyesuaikan bujet mitra. Model ini efektif untuk mengangkat pamor angkringan miliknya.

Ia bilang, kini keempat gerai angkringan, baik miliknya pribadi dan milik mitra, dapat meraup omzet Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per hari. "Perhitungannya jika dikonsep lebih modern dan lengkap, balik modalnya sekitar setahun dengan laba 30 %," tuturnya.

Demi memikat banyak mitra, kini Anton menghilangkan Royalty fee sebesar Rp 150.000 per bulan atau Rp 9 juta untuk lima tahun. Selain itu, ia pun memberikan kesempatan bagi mitra untuk menjadi investor dengan sistem pengelolaan penuh dijalankan oleh pusat. "Kami berlakukan bagi hasil untuk gerai under management yakni 60% pusat, 40% mitra," jelasnya.

Inovasi menu pun dihadirkan Anton dengan menambah beberapa menu lain seperti nasi gudeg dan ceker setan atau ceker rasa pedas. Ia bilang harga makanan di angkringan ini bervariasi dari mulai Rp 1.000-Rp 4.000 per porsi.

• Angkringan Fatmawati

Angkringan yang sudah berdiri sejak Juni 2006 di Jalan Fatmawati ini masih tetap eksis hingga sekarang. Namun, mengalami kemandekan dalam menjaring mitra. Saat diulas KONTAN, Mei 2011 lalu, Angkringan Fatmawati telah memiliki tiga mitra di Pasar Minggu, Ciputat dan Cililitan.

Menurut Handayani, pemilik sekaligus pendiri Angkringan Fatmawati, ia sempat memiliki mitra keempat, yakni di Depok. Tapi kini, mitra Angkringan Fatmawati tinggal dua mitra. Sementara gerainya sendiri ada tiga, yakni di kawasan Cililitan, Depok dan Fatmawati.

Menurut Handayani, mitranya berkurang karena mereka menjadikan usaha ini sekadar sampingan saja. "Mitra saya orang kantoran, jadi saat anak buahnya sering tidak masuk, usaha keteteran," ujarnya.

Sebetulnya, kata Handayani, cukup banyak yang berminat menjadi mitra Angkringan Fatmawai, tetapi mereka kesulitan mencari lokasi yang pas. Maklum, Handayani memberi syarat luas tempat usaha sekitar 8 meter x 6 meter untuk membuka usaha angkringan. "Jadi harus cukup untuk lesehan juga, selain tempat gerobaknya karena konsep saya memang lesehan," jelasnya.

Meski begitu, ia yakin, cabangnya masih akan berkembang. Maka itu, Handayani terus mencari mitra serta mengembangkan menu-menu baru angkringan.

Untuk menjadi mitra Angkringan Fatmawati, harga paket investasinya saat ini sudah naik. Sebelumnya, Handayani mematok investasi Rp 13 juta. Harga ini sudah termasuk gerobak dan seluruh peralatan awal yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha ini.

Kini, paket investasi tersebut naik menjadi Rp 15 juta karena naiknya harga-harga peralatan. Namun, bagi mitra yang ingin membuka usaha dengan menyiapkan gerobak serta peralatan sendiri, biaya investasi yang ditawarkan masih tetap Rp 5 juta.

Dengan ongkos itu, mitra mendapatkan lisensi nama dari Angkringan Fatmawati untuk jangka waktu lima tahun dan konsultasi. Angkringan ini juga tetap tidak memungut biaya royalti.

Handayani menargetkan mitranya bertambah tiga hingga akhir tahun ini. "Bisnis ini masih bagus karena pasarnya jelas," ujar Handayani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×