Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Tri Adi
Jangan asal membuang barang kuno peninggalan orang tua dari rumah Anda. Bisa jadi barang kuno itu menjadi harta karun yang terus menanjak nilainya. Sebab kini barang antik yang bersifat etnik mulai digandrungi oleh pemilik duit.
Wajahnya dingin dan tegang. Lelaki separuh baya berkemeja biru itu duduk di sudut ruangan Tony Raka Art Galery Ubud Gianyar Bali. Pundak kiri menjepit ponsel di telinga dan tangan kanan memegang papan nomor penawaran lelang (paddle number). Sesekali pria bernama lengkap Doni Sebastian ini mengangkat paddle, menaikkan harga penawaran.
Doni tak ingin barang pesanan kliennya yang berbicara di ujung telepon lepas dari bidikan. Alhasil beberapa barang kelas berat, berhasil dia boyong ke Jakarta. Seperti sepasang wayang blawong seharga Rp 43 juta, serta satu set gebyog ia beli seharga Rp 60 juta. Ada juga barang antik lain akan dia angkut.
Mendung dan hujan rintik -rintik yang mengguyur kawasan Jalan Mas Ubud Gianyar Bali tak menyurutkan peminat barang antik dari seluruh penjuru mendatangi lelang bertajuk Javanese Antique Furniture and Folk Art tersebut. Saat itu Balai Lelang Sidharta menggelar Barang antik Jawa, koleksi seorang warga Seatle Amerika Serikat, David B Smith.
Tak kurang dari 200 orang lokal dan asing mulai memadati ruangan berukuran 15 meter (m) x 15 m, dan 20 m x 20 m, yang menjadi ruang pameran sekaligus balai lelang. Setidaknya ada 367 barang antik terpampang di sana, mulai kursi kecil anak, meja, almari, gamelan, tempat tidur, peti, partisi ruangan, lampu kuno, hingga patung, semua tersedia.
Sebagian besar pengunjung lelang hari itu adalah ekspatriat. Ada yang sudah sepuh, ada juga yang masih belia. Mereka datang untuk dirinya sendiri maupun mewakili institusi.
Syanda Kunto Prabowo, Direktur Marketing Balai Lelang Sidharta menjelaskan, mereka telah mengundang 3.000 kolektor maupun investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sekitar 70% adalah kolektor murni, sedangkan sisanya pengelola art shop, maupun broker. Nah, dari sejumlah kolektor yang diundang ini, sekitar 60% kolektor baru. “Yang murni investor kami perkirakan cuma 10% saja,” kata Syanda.
Pada lelang itu, total transaksi penjualan mencapai Rp 2,8 miliar. Sekitar 166 barang terjual dengan harga mulai Rp 1 jutaan hingga Rp 135 juta.
Juru lelang yang juga pendiri Balai Lelang Sidharta, Amir Sidharta, tampak gembira dengan kesuksesan lelang. Tapi secara rata-rata harga penjualan masih di bawah harga perkiraan. “Beberapa jenis barang harganya begitu tinggi, ada yang lebih dari 10 kali harga pembukaan, ini cukup mengagetkan bagi peserta lelang,” kata Amir.
Amir merasa lelang barang antik ini tak kalah populer ketimbang lukisan. “Dan yang terpenting lelang ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia atas nilai barang seni kuno dan antik asal negeri sendiri,” tambah dia.
Barang seni antik asal Indonesia ternyata banyak diminati oleh masyarakat secara internasional. Dari transaksi yang terjadi, sebagian besar pembeli orang asing. Tapi pencetak harga tertinggi tetap orang Indonesia. “Peminat bukan hanya kolektor pribadi, tapi ada satu peserta mewakili museum Leiden Belanda,” terang Amir.
Blawong sedang menjadi tren
Yang menarik, dalam lelang yang berlangsung awal Februari itu tercipta primadona baru, yaitu blawong. Blawong adalah sebuah papan yang terbuat dari kayu jati berukuran 0,5 meter kali 1 meter berukiran wayang. Papan seperti ini zaman dulu digunakan untuk menyematkan keris, senjata khas suku Jawa.
Menurut pengamatan KONTAN hampir semua lot yang berisi blawong bisa mencetak harga di atas harga dasar. Misalnya lot 011 yang berisi sepasang blawong polos tanpa cat, bisa mencetak harga Rp 13 juta dari perkiraan harga maksimal Rp 9 juta. Demikian juga pada lot 012, dan 013.
Perebutan blawong semakin gencar saat masuk lelang lot 088. Lot ini berisi sebuah blawong berwarna gelap, berukiran punakawan, kera di pohon, serta sepasang naga. Blawong ini diyakini menjadi simbol mitologi tertua yang ditemukan di kawasan Asia Tenggara.
Juru lelang membuka harga Rp 4 juta untuk lot 088. Sambutan peserta lelang sangat luar biasa, dalam kurun waktu kurang dari lima menit, harga berlari kencang. Chevy, pemilik Chev Galery di Kemang Jakarta Selatan yang sangat aktif untuk memburu blawong ini mulai masuk di harga Rp 16 juta.
Chevy pun menyerah di harga Rp 36 juta. Barang ini akhirnya dimenangkan oleh Bruce Carpenter, ekspatriat dari Amerika yang juga penulis buku berjudul Javanese Antique Furniture & Folk Art : The David B. Smith and James Tirtoprodjo Collection. Bruce yang menulis buku karya seni di Indonesia lainnyamenawar Rp 40 juta.
“Nyesel saya tak berani naikin sedikit lagi, ini harganya sudah gila,” kata Chevy yang cuma mengenakan kaos kutang dan celana jins ketat bergambar bintang-bintang.
Chevy yakin, kalau ada barang yang menjadi rebutan di pasar lelang seperti ini, maka barang jenis ini bakal menjadi tren. Paling tidak harga pasaran blawong terangkat dengan sendirinya. “Saya sudah punya beberapa koleksi blawong sejenis yang saya beli Rp 2 juta -Rp 3 juta. Harganya nanti pasti naik,” kata dia.
Blawong kembali menjadi rebutan pada lelang lot 209. Lot ini berisi dua sepasang blawong yang dibuka dengan harga
Rp 8 juta. Harga palu yang tercipta Rp 30 juta. Sepasang blawong di lot 225 juga mencetak harga palu Rp 33 juta dari harga pembukaan Rp 4 juta.
Rebutan blawong yang tidak kalah mencengangkan terjadi di lot 224. Lot berisi sepasang blawong dengan ornamen wayang bersalaman dan burung. Juru lelang membuka dengan harga Rp 3 juta. Tampak tiga peminat aktif memperebutkan blawong ini, antara lain Doni, Chevy, serta Bruce. Saat harga di atas Rp 20 juta, Chevy mulai mundur, tinggal Doni dan Chevy yang bertahan. Akhirnya Doni memenangkan perebutan dengan membayar Rp 43 juta.
Beda dengan Chevy, Doni tak yakni blawong bakal menjadi tren. “Trend blawong ini sudah sejak lima tahun atau sepuluh tahun silam,” kata dia. Namun ia mengakui, beberapa blawong koleksi David menawarkan motif yang berbeda ketimbang blawong yang sudah ada. Doni mengaku lebih peduli agar barang-barang seperti ini tidak lari ke luar negeri. “Lihat saja, untuk melihat barang Asmat asli dan antik kita harus pergi ke Belanda,” kata dia.
Imbal hasil memang tak terukur
Meski sebagian barang antik telah mencetak harga yang tinggi, sebagian besar kolektor maupun investor barang antik tak bisa menaksir berapa rata-rata gain yang bisa mereka peroleh dari barang-barang ini.
David Smith tak mau membocorkan berapa rata-rata keuntungan yang ia peroleh dari barang koleksinya. “Lihat saja dari hasil lelang, kalau lebih banyak di atas harga perkiraan, artinya ada gain lumayan,” kata dia.
Ahmad Jufri, peserta lelang yang mewakili Daeng Iskandar Art Shop yang berlokasi di Kuta Bali juga tak bisa memastikan berapa gain barang antik. Ia merasa kalau sudah menaksir satu barang biasanya kolektor akan merasa harus membeli. “Kadang dengan harga berapa pun akan dia bayar,” kata Jufri.
Dalam lelang tersebut lelaki berusia 63 tahun yang sudah menggeluti bisnis barang antik sejak SMP ini berhasil memboyong sepasang kursi yang terbuat dari kayu, dengan harga Rp 12 juta, padahal harga pembukaan hanya Rp 2 juta. “Belum juga kita bawa pulang sudah ada peserta lelang di sini yang mau membayar Rp 20 juta,” kata Jufri, renyah.
Agar tidak kejeblos, Jufri menyarankan pembeli lebih teliti. Misalnya saat ia menawar sebuah meja makan yang dibuka pada harga Rp 6 juta. Jufri berhenti di harga Rp 26 juta, setelah mengecek kondisi barang. “Saya ragu dengan salah satu kakinya, seperti pernah di renovasi, warnanya tidak sama dengan yang lain,” kata Jufri. Menurut Jufri, sekali salah ia harus menanggung rugi. Sebab barang cacat tidak akan laku di jual. Meski mencurigakan, meja itu laku di harga Rp 30 juta.
Agar lebih memahami barang antik, Doni menyarankan kolektor dan investor sering datang ke galeri dan pameran agar bisa membedakan mana yang asli, rekondisi, dan palsu.
Chevy juga memiliki pendapat yang sama. Hanya, di mata Chevy, kenaikan harga barang antik asal Jawa jauh lebih lama ketimbang barang dari luar Jawa. Sekadar gambaran, dia membeberkan pengalaman menarik. “Dua hari lalu saya membeli barang antik Toraja, harganya Rp 200 jutaan, kini sudah ada yang menawar Rp 800 juta,” kata Chevy sambil menunjukkan satu foto peti mati asal Tana Toraja di ponselnya.
Selain dari Toraja, barang antik yang memiliki nilai jual tinggi adalah barang yang berasal dari Sumatra Utara. “Bisa dari suku Nias atau Batak.”
Kini, apakah ada yang tertarik memburu barang antik?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News