Reporter: Fransiska Firlana | Editor: Tri Adi
Setia dengan tantangan mampu mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Roma Girsang, pengusaha kerajinan tangan bermerek Rawigi Craft 153 asal Medan, Sumatra Utara, adalah salah satu buktinya. Mau tahu kisahnya?
Kulit hewan? Bagi sebagian orang, mungkin, itu barang yang menjijikkan. Namun, mereka yang jeli bisa menyulap kulit hewan menjadi produk kerajinan yang laku dijual dan mendatangkan keuntungan.
Salah satu contoh perajin produk berbahan kulit binatang yang sukses adalah Roma Girsang. Dengan mengusung label Rawigi Craft 153, perempuan kelahiran Medan, Sumatra Utara, 16 April 1967 ini, mampu memikat pembeli dari dalam dan luar negeri.
Produk Rawigi cukup beragam, mulai dari tas, dompet, sandal, ikat pinggang, hingga gelang dan anting. Rawigi juga menawarkan wadah handphone, tempat kosmetik, dan kemasan rokok.
Sebagaimana produknya yang bervariasi, bahan baku kulit hewan yang digunakan Roma tak kalah banyaknya. Tidak hanya kulit sapi, kulit ular, ikan, kodok, kambing, biawak, dan kulit buaya pun dia pakai.
Bukan cuma jenis, volume produksi Rawigi juga sangat besar. Untuk produk tas saja, Roma bisa menghasilkan 2.000 unit setiap bulan. Anak keempat dari enam bersaudara ini membanderol tasnya dengan harga Rp 500.000 hingga Rp 18 juta per unit. “Tas-tas yang kami produksi limited edition, “ kata Roma.
Dari produksi sebanyak itu, Roma memastikan 60% laku terjual. Selain dipasarkan ke dalam negeri, seperti Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali, produk Rawigi juga sudah merambah pasar Singapura, Australia, Jepang, Amerika Serikat, Jerman, dan Belanda.
Menembus pasar luar negeri bukan urusan mudah, lo. Banyak negara maju membatasi penjualan produk berbahan kulit binatang. Karena itu, Roma patut bangga. Ia termasuk dalam daftar 13 pengusaha kerajinan Indonesia yang memegang izin ekspor ke Amerika, Jepang, dan Jerman.
Bagaimana Roma mengawali usahanya? Semuanya berawal dari hobi. “Sejak SMA saya suka mendesain baju dan sepatu. Itu hanya hobi,” kata dia. Seusai lulus SMA, Roma memenuhi keinginan kedua orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nomensen, Medan.
Mandiri sejak belia
Saat berstatus mahasiswa, Roma bekerja sebagai tenaga pemasar di perusahaan alat musik. Profesi itu ia jalani selama dua tahun. Setelah itu, ia menjadi agen asuransi. “Saya cukup sukses karena masa itu, sekitar 1990-an, belum banyak perusahaan asuransi,” kata dia.
Roma mengakui, dia cenderung tidak betah lama-lama bekerja di suatu perusahaan. Dia cepat bosan dan haus dengan tantangan baru. “Yang terpenting, selama menjalankan suatu profesi, saya memiliki banyak teman dan jaringan,” ucapnya.
Karena jaringan itu pula, setelah lulus kuliah, Roma menerima tawaran temannya untuk bekerja di perusahaan properti dan langsung menjadi kepala pemasaran. Lagi-lagi, rasa bosan menghampiri Roma. Tahun 1993, Roma pindah lagi. Kali ini, dia menjadi business executive di perusahaan valuta asing. “Selain karena tantangan baru, gaji yang ditawarkan lebih tinggi,” tutur dia sambil terbahak. Maklumlah, di perusahaan itu, Roma ditunjuk menjadi tangan kanan sang bos.
Toh, Roma belum merasa ada di zona nyaman. Dia kembali ke perusahaan asuransi. Kali ini, dia menjadi kepala cabang. Setelah menjadi kepala cabang selama empat tahun, Roma merasa kariernya mentok.
Roma pun tergoda menjajal peluang untuk menjadi pebisnis. Kendaraan pertama yang ia lirik adalah CV Karya Tani. Ini merupakan perusahaan pupuk ayah Roma, Liman Girsang, yang sudah lama tak beroperasi.
Roma menggeser pasar Karya Tani dari Medan ke Riau, pusat berbagai perusahaan sawit. Roma pun harus bolak-balik Medan–Riau. Saat itu, dia mulai mengendus peluang berbisnis produk dari kulit binatang.
Selama di Riau, dia sering melihat ular yang dibunuh petani sawit karena dianggap hama. “Muncul ide mengumpulkan kulit-kulit ular. Sayang kalau hanya dibuang,” tutur dia.
Berbekal bakatnya menggambar, Roma mulai mendesain dompet dari kulit ular. Awalnya, dia hanya memproduksi beberapa unit saja. Ia tak menyangka, dompet kulitnya menjadi rebutan relasi-relasinya.
Roma mencari informasi di internet seputar pasar produk kulit. ‘Ternyata peminatnya banyak, hingga bisa diekspor. Saya pun berani menambah jumlah produksi,” tutur dia.
Jalan Roma semakin terbuka setelah mendapat tawaran dari pemerintah daerah untuk mengisi pameran. Hasilnya, belum setahun menjadi perajin kulit binatang, produk Rawigi sudah terbang ke Amerika.
Namun di saat Eropa dan Amerika terbelit krisis, Roma turut dag-dig-dug. Untuk menyiasati krisis di luar sana, dia sibuk mencari celah baru di dalam negeri.
Booming tas branded di Indonesia, menurut Roma, turut mengerek permintaan tas produksinya. “Pengoleksi tas limited edition dan mahal ikut bertambah,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News