Reporter: Rizki Caturini | Editor: Tri Adi
Kakao adalah komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman yang merupakan bahan baku cokelat ini dapat berbuah sepanjang tahun. Makanya, banyak petani kepincut membudidayakannya. Seorang pembudidaya kakao di Semarang meraup omzet Rp 2 miliar per bulan.
Kakao atau Theobroma cacao L., merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cocok dengan kultur tanah dan iklim di Indonesia. Tanaman ini termasuk golongan tumbuhan tropis.
Tanaman penghasil biji kakao ini berasal dari daerah hutan tropis di Amerika Selatan. Di habitat asalnya, kakao biasa tumbuh di bagian hutan hujan tropis yang terlindung di bawah pohon-pohon besar.
Di Indonesia, kakao banyak tumbuh di daerah Sulawesi, Lampung, dan Flores, Nusa Tenggara Timur. Maklum, di daerah tersebut banyak terdapat lahan tidur yang cocok ditanami kakao.
Apalagi, hasil komoditasnya yang bernilai ekonomi tinggi mendorong minat para petani di sana untuk membudidayakannya. Namun, tidaklah mudah membudidayakan tanaman ini. Persiapan naungan dan lahan merupakan dua hal penting yang perlu diperhatikan. Naungan itu bisa berupa tanaman pelindung, seperti lamtoro, gleresidae, dan albazia. Selebihnya, proses membudidayakan kakao tak terlalu rumit.
Adalah Bagus Soesintho, salah seorang petani yang sukses membudidayakan tanaman kakao. Di bawah bendera usaha PT Marga Okapallo di Semarang, Jawa Tengah, dia membudidayakan kakao di sejumlah daerah, seperti di Flores, NTT.
Selain memiliki lahan budidaya sendiri, dia juga menerapkan pola inti plasma untuk bekerjasama dengan masyarakat sekitar. Bentuknya adalah kelompok mitra.
Dalam kemitraan tersebut, Bagus menyediakan modal, mulai dari bibit, pupuk hingga penyuluhan kepada masyarakat. Saat ini, petani kakao yang menjadi mitra binaannya tersebar di tiga kabupaten di Flores.
Karena bentuknya inti plasma, maka hasil panen kakao petani dipasok ke Marga Okapallo. "Budidaya kakao bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat," ujar Bagus.
Dalam budidaya kakao, imbuhnya, maksimal lahan yang bisa ditanamani pohon sekitar 70% dari total luas lahan. Jarak tanamnya sekitar 1,1 meter.
Dalam sepekan, Bagus bisa memanen sekitar 150 ton buah kakao, baik hasil panen dari kebun sendiri maupun dari mitra binaannya. Bagus membeli kakao dari mitranya dengan harga US$ 1,8-US$ 2,1 per kilogram (kg).
Selanjutnya dia akan memasarkan kembali buah kakao itu. Setiap pekan, dia menjual sedikitnya 125 ton buah kakao. Dengan harga jual Rp 20.000 per kg, dia meraih omzet hingga Rp 2, 5 miliar. "Uang itu diputar lagi untuk biaya penanaman kakao," ujarnya.
Bagus bilang, sebagian besar pembeli kakao adalah pedagang yang menjual kembali biji kakao dalam kemasan. Salah satunya Gafar, penyalur biji kakao di Kendari, Sulawesi Tenggara. "Pelanggan saya berasal dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya," ujar Gafar.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News