Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi
Banyak hal harus menjadi perhitungan ketika seseorang memutuskan untuk menjadi entrepreneur. Apalagi, jika sebelumnya, dia merupakan karyawan yang memiliki posisi cukup mapan.
Begitulah yang terjadi pada Catur Jatiwaluyo. Dengan perhitungan yang benar-benar matang ketika melepaskan status karyawannya, kini pria berusia 46 tahun ini berhasil menggapai sukses sebagai pengusaha. Dalam tiga tahun, usaha pembuatan gelas kertas (paper cup) miliknya telah mendulang omzet hingga puluhan miliar rupiah.
Padahal, awalnya, Catur tak tertarik untuk menjadi pengusaha. Posisinya yang sudah mapan, sebagai country sales manager di produsen kemasan asal Australia, tak membuatnya tertantang untuk menjadi pengusaha. “Saat itu, benar-benar berada dalam comfort zone, dengan berbagai fasilitas yang saya terima,” kenang dia.
Peluang untuk punya usaha sendiri datang dari seorang teman. Pada 2009, sang teman, yang enggan disebut namanya, menawari Catur untuk bergabung membuat pabrik paper cup, yang menggarap pasar lokal. Maklum, sang teman melihat potensi Catur yang memiliki jaringan luas dalam industri kemasan makanan lokal.
Sejatinya, ini bukan tawaran pertama. Catur pernah menolak tawaran temannya itu pada 2007. Saat itu, dia lebih memilih tetap meneruskan langkahnya sebagai karyawan. Tantangan menjadi pengusaha baru datang setelah dia bergaul dengan para pengusaha yang menjadi dosennya ketika menyelesaikan pendidikan S2 di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia.
Lantaran tak mau menanggung risiko besar dengan melepas kenyamanan yang telah didapat, Catur benar-benar mempersiapkan langkahnya dengan matang. Salah satunya, dia memastikan dukungan pelanggannya. “Saya meminta pendapat mereka jika punya pabrik sendiri. Mereka akan membagi order untuk kami,” kata dia. Selain itu, Catur harus merelakan sebagian tabungannya untuk biaya hidup keluarganya, selama usaha barunya masih dalam tahap awal.
Customer besar
Setelah berbagai persiapan, berdirilah pabrik paper cup ini pada 1 Mei 2011. Catur menanamkan duitnya Rp 200 juta sebagai modal untuk membeli mesin-mesin. Dengan dana ini, dia mendapat bagian saham 30%, sementara sisanya menjadi bagian dua partner lainnya.
Nama Paperocks pun dipilih, untuk mewakili semangat yang terus meletup dari para pemiliknya. Sesuai kapasitas dan kemampuannya, Catur bertanggungjawab pada bagian pemasaran. Sementara, partner lainnya mengelola bagian produksi dan keuangan.
Karena baru merintis, Catur bekerja sendiri dalam memasarkan paper cup. Bahkan, tahun pertama, dia bilang, Paperocks belum dapat apa-apa. “Sebagai pemain anyar, kami baru menyebarkan sampel produk,” kenang dia. Maklum, untuk bisa bersaing dengan pemain lama, kualitas produknya harus teruji dengan baik.
Dengan berbekal pengalaman dan jaringan yang dimilikinya, Catur cukup percaya diri hanya mengincar konsumen kelas kakap. “Mendapat customer besar itu seperti perang melawan kualitas, sementara customer kecil perang harga,” jelas ayah dua anak ini. Apalagi, pembelian yang dilakukan pelanggan raksasa biasanya sangat besar. Jadi, untung yang diperoleh pun bisa langsung terlihat.
Pengalaman membantu Catur menentukan waktu yang tepat untuk masuk ke pasar. Sebagai contoh, permintaan paper cup akan melonjak tinggi satu bulan sebelum puasa dan Lebaran. “Customer besar pasti memperbesar stok pada saat itu sehingga mereka butuh pasokan dari banyak supplier,” tegas dia.
Dengan strategi ini, produk Paperocks berhasil menembus pasar paper cup lokal. Apalagi, karena dari awal mengincar konsumen besar, Paperocks sudah melengkapi produknya dengan sejumlah sertifikasi yang biasa dipasang sebagai syarat pemasok oleh perusahaan tingkat internasional.
Setelah menggarap perusahaan besar, seperti AW, KFC, Burger King, dan Nestle, Catur baru mulai konsentrasi untuk menjajakan produknya ke konsumen kelas usaha kecil menengah (UKM). Namun, di pasar ini, Paperocks tidak aktif mencari, tapi hanya melayani mereka yang datang.
Sebagai bagian dari promosi, Catur memang sengaja membubuhkan merek Paperocks pada produk paper cup mereka di bagian bawah. “Ini strategi supaya konsumen gerai fast food juga bisa mendeteksi produk kami,” kata Catur sambil menyebut Kopi Brontoseno di Jawa Timur, merupakan pelanggan mereka pertama yang datang dari kelas UKM. Gerai kopi ini juga menjadi langkah awal Paperocks menembus pasar kemasan di Jawa Timur.
Alhasil, tahun 2012, sudah terlihat irama bisnis Paperocks. Pada akhirnya, mereka juga mengembangkan produk kemasan lain, seperti boks dan kertas bungkus nasi dengan standar food grade. “Kebutuhan konsumen yang mengarahkan kami untuk membuat produk-produk tersebut,” kata Catur.
Tak hanya di Pulau Jawa, Paperocks juga merambah pulau-pulau lain di Indonesia seiring pembukaan gerai-gerai fast food di luar Jawa. Begitu pula, dengan pembukaan kafe-kafe yang bersifat lokal, dari Aceh hingga Papua. “Banyak pelaku usaha beralih menggunakan paper cup yang lebih ramah lingkungan,” terang anak ke-3 dari empat bersaudara ini.
Hingga saat ini permintaan terbanyak masih berasal dari jaringan waralaba fast food. Porsi mereka sekitar 70%–80% dari total permintaan. Sisanya, berasal dari konsumen kelas UKM. “Karena kami juga punya komitmen untuk memajukan usaha mereka,” imbuh Catur.
Kini, tentu, Catur tak menyesal menjejakkan kakinya di belantara usaha. Maklum, pertumbuhan bisnisnya cukup besar, yakni 40%–50% per tahun. Selain itu, dia juga masih melihat banyak potensi yang masih bisa digarap dari bisnis ini.
Menjaga kekompakan
Agar suatu usaha berjalan langgeng, kekompakan orang-orang yang terlibat di dalamnya sangat penting. Hal itu disadari oleh Catur Jatiwaluyo dan kedua rekannya. Sejak awal bisnis, mereka sudah berkomitmen untuk saling percaya dan bekerja keras membangun PT Paperocks Indonesia.
Untuk mewujudkan komitmen, dari awal, mereka menyepakati banyak hal, untuk mengurangi konflik. Misalnya, dalam mengambil keputusan, suara mayoritas yang jadi patokan. “Jadi kalau saya punya ide tapi dua orang lain tidak sependapat, ide itu tidak bisa dijalankan dan saya tidak bisa komplain,” tutur dia.
Konon, ketika memutuskan jadi pengusaha, Catur sudah siap untuk tak berpenghasilan tetap selama tiga tahun. Estimasi dia, perusahaan yang dibangun bersama dua rekannya itu baru bisa menghasilkan pada tahun keempat. Ternyata, belum tiga tahun, Paperocks sudah mengalirkan uang untuk pemiliknya.
Akan tetapi, pencapaian ini tak serta-merta membuat Catur puas. Bagi Catur, masih banyak peluang usaha yang ingin digarap melalui Paperocks. Ia menyiapkan banyak rencana untuk mengembangkan Paperocks. Catur bilang, dalam jangka pendek ia ingin memaksimalkan jaringannya. “Langkah terdekat yang mau saya ambil menambah tenaga sales untuk membantu saya melakukan penjualan di Jakarta,” ujarnya. Selama ini, Paperocks hanya punya masing-masing seorang karyawan untuk pemasaran di Jakarta dan Surabaya.
Sementara, untuk jangka panjang, Catur berharap bisa menambah lini usaha yang mendukung bisnis restoran dan kafe. “Dengan jaringan yang sudah ada, kami memikirkan akan membuat produk baru yang juga berkaitan dengan bisnis kuliner, misalnya saja produksi tepung. Tetapi ini masih dalam perencanaan,” tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News