Reporter: Fahriyadi, Bambang Rakhmanto | Editor: Tri Adi
Keberadaan VCD dan DVD bajakan memang sudah lama mengancam bisnis penyewaan film orisinal. Kondisi ini diperparah dengan booming industri televisi berbayar. Apalagi, perkembangan dunia internet juga memungkinkan orang mengunduh film secara gratis.
Beberapa waralaba penyewaan cakram digital film orisinal pun mengeluh gerainya terus bertumbangan. Contohnya adalah Video Ezy yang kehilangan 51 gerai selama empat tahun terakhir. Adapun Goal Disc tak lagi menawarkan kemitraan untuk menghindari kerugian.
Namun, tak berarti masa depan usaha penyewaan film cakram digital ini bakal suram. Lihat saja DVD Club. Mereka berhasil menambah gerainya selama setahun terakhir ini. Kunci sukses DVD Club terletak pada inovasi, yakni keberanian memadukan beragam usaha dalam penyewaan video.
Untuk melihat lebih jelas perjalanan masing-masing waralaba ini, KONTAN berusaha mengulas satu per satu kondisi mereka.
• Video Ezy
Waralaba penyewaan video orisinal yang sudah ada sejak 2000 lalu. Namun, belakangan usaha ini terus mengalami kemerosotan. Itu tampak dari banyaknya gerai yang gulung tikar dalam beberapa tahun terakhir.
Yudi Boesono, Direktur Video Ezy, mengatakan, banyaknya gerai Video Ezy yang tutup merupakan dampak menjamurnya lapak-lapak penjual film bajakan. "Total gerai Video Ezy yang masih bertahan saat ini berjumlah 105 gerai," ucapnya.
Padahal, ketika KONTAN mengulas usaha Video Ezy pada 2007 lalu, jumlah gerai pewaralaba ini sudah sebanyak 156 gerai.
Yudi bilang, mayoritas gerai yang tutup berlokasi di luar Jakarta, seperti Kalimantan, Jawa Tengah, dan daerah lainnya. "Pasarnya tergerus dengan video bajakan yang harganya lebih murah," tuturnya.
Karena itu, Video Ezy harus mengubah nilai investasinya. Kini, nilai investasi Video Ezy berkisar Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. Sekadar catatan, empat tahun lalu calon terwaralaba harus menyiapkan Rp 80 juta.
Yudi menerangkan, penurunan nilai paket investasi itu untuk menarik para calon mitra baru yang ingin menjadi mitra Video Ezy. "Karena penurunan gerai cukup mencolok jika dibandingkan dengan tahun lalu," keluh Yudi.
Namun, meski bea investasi makin murah Video Ezy tak mengubah format kemitraan. Para calon investor tetap harus menyiapkan lokasi usaha dan membayar investasi. Untuk VCD dan DVD, tetap akan dikirim dari kantor pusat. Selain itu, mereka juga menerapkan sistem bagi hasil sebesar 50:50.
Meski kondisi sedang tak bersahabat, Yudi masih optimistis, terwaralaba bisa mematok omzet dalam satu bulan mencapai Rp 25 juta dari hasil penyewaan sekitar 6.000 judul film dari berbagai genre. "Harga sewa pun belum ada perubahan yaitu dari Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per keping," tandasnya.
Yudi yakin, usaha ini tetap bisa jalan lantaran masih banyak penyuka film yang merasa lebih puas nonton lewat kepingan video ketimbang nonton di gedung bioskop. "Masih banyak orang seperti itu," katanya.
Meski begitu, ia tak mematok tinggi target terwaralaba. Tahun ini, Video Ezy hanya mengincar pembukaan empat gerai baru.
• Goal Disc
Goal Disc yang berdiri sejak 2002 dan mulai menjadi usaha waralaba pada 2004 ini bisa dikatakan sudah mati suri. Pasalnya, PT Goal Prima selaku pewaralaba mulai menghentikan penawarannya.
Hal ini dikarenakan tutupnya sebagian besar gerai yang dimiliki Goal Disc. "Kini kami hanya tinggal memiliki dua gerai di Lampung dan Purwokerto," jelas Willy Arif, pemilik Goal Prima.
Ketika KONTAN mengulas waralaba Goal Disc pada November 2010 lalu, Goal Prima masih memiliki sembilan gerai di berbagai daerah, dua di antaranya dikelola oleh terwaralaba.
Saat itu Willy menyatakan, dengan paket investasi sebesar Rp 75 juta, meliputi komputer, software, pelatihan, dan suplai 3.000 hingga 5.000 keping film berbagai judul film. Menurutnya, saat itu mitra bisa mendulang omzet Rp 20 juta per bulan.
Ketika itu, ia berpandangan, pecinta film khususnya di wilayah perkotaan masih cukup antusias. Dus, usaha ini masih bisa berkembang menjadi usaha yang potensial.
Namun, memasuki 2011, kondisi justru berbalik. Willy mengisahkan, hampir seluruh gerainya mengalami penurunan omzet hingga 70%. "Dan itu terjadi pada gerai kami di kota besar," terangnya. Fakta ini membuatnya tak lagi menawarkan paket kemitraan demi menghindari kerugian dari pihak terwaralaba.
Willy bilang, kehadiran VCD dan DVD bajakan saat ini menjadi momok yang menyulitkan usahanya. Utamanya di kota-kota besar, seperti Jakarta. Meski begitu, melihat fakta di lapangan, ada dua terwaralaba di Lampung dan Purwokerto yang masih bertahan, sedikit menjadi angin segar buat Willy.
Kini Willy memilih wait and see. Dia berharap pemerintah turun tangan guna menanggulangi efek luar biasa dari pembajakan. "Kami mungkin akan meluncurkan konsep baru ke depannya," terangnya.
Salah satunya adalah mengusung konsep video on demand via internet kepada pelanggannya untuk kemudian didistribusikan melalui delivery order langsung ke pelanggannya di rumah, "Kami coba mengadaptasi konsep yang sedang tune-in di Amerika Serikat saat ini," jelasnya.
• DVD Club
Berbeda dengan Video Ezy dan Goal Disc, DVD Club saat ini justru berhasil menapak keberuntungan dengan lebih baik dibandingkan dengan para kompetitornya. Pasalnya, penyewaan video orisinal yang mulai beroperasi sejak 2008 ini masih terus menambah jumlah gerainya. Kini, mereka memiliki 23 gerai dan mampu merambah wilayah seperti Palembang dan Medan.
Sekadar gambaran, saat KONTAN mengulas waralaba yang bermarkas di Jakarta ini November 2010 lalu, DVD Club masih memiliki 12 gerai dan masih fokus mengembangkan usahanya di Jawa.
Erni Chandra, Business Development Manager PT DVD Club, menyatakan, peningkatan jumlah gerai ini patut disyukuri mengingat banyaknya kerikil yang mengganjal perjalanan usaha penyewaan video orisinal secara umum. "Kami tak menaikkan nilai investasi dan masih mempertahankan konsep sebelumnya," tutur Erni.
Erni menambahkan, konsep memadukan usaha penyewaan ini dengan usaha lain seperti minimarket, kedai kopi, ataupun butik, ini menjadi solusi yang tepat dan terbukti ampuh. Untuk paket investasi nilainya tidak berubah ketika KONTAN menulis waralaba ini yaitu Rp 30 juta dengan omzet Rp 10 juta per bulan. Begitu pun dengan besaran nilai royalty fee yang dibebankan, yaitu berkisar antara 5%-15% dari omzet.
Kalaupun terdapat perubahan, kini DVD Club menghilangkan sistem keanggotaan bagi para penyewa video orisinal ini. Terhitung awal 2011 ini, DVD Club tak lagi memberlakukan deposit Rp 50.000 untuk keanggotaan penyewa. "Kami ingin mengembangkan fleksibilitas bagi para penyewa kami dengan hanya menyertakan identitas diri ketika menyewa film," ucapnya.
Dengan perkembangan yang diraih, Erni optimistis usaha ini masih tetap terbuka. Menurut dia, selama keinginan orang untuk nonton film belum padam maka selalu ada ruang untuk usaha ini. "Meski harus diakui bahwa adanya video bajakan dan televisi berbayar dapat mempengaruhi bisnis ini," ujar Erni.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News