kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

Dari barang terlarang, Monza berjaya (2)


Rabu, 14 Agustus 2013 / 12:51 WIB
ILUSTRASI. Sejumlah calon penumpang pesawat berjalan di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (8/3/2022). ANTARA FOTO/Fauzan/aww.


Reporter: Marantina | Editor: Dupla Kartini

Sentra penjualan pakaian seken impor alias monza di Medan ditengarai  marak pasca krisis ekonomi pada 1998. Ekonomi yang sulit menyebabkan orang banyak mencari alternatif pakaian seken yang masih layak pakai. Jika, awalnya para pedagang hanya menjual pakaian bekas, namun kemudian merambah hingga sepatu dan tas bekas.

Meskipun pemerintah melalui Kementrian Perindustrian dan Perdagangan melarang impor pakaian bekas, namun bisnis abu-abu ini tetap marak dan mendatangkan pendapatan yang menggiurkan. Asal tahu saja, pemerintah melarang impor pakaian seken, karena khawatir mengganggu industri tekstil lokal.

Para pedagang mengaku, sejauh ini, tidak kesulitan mendapat pasokan barang, sebab para penyalur memiliki cara untuk mengakali larangan pemerintah itu.

Salah seorang pedagang di Pasar Sambu, Chandra bilang, ia punya penyalur di Malaysia. Penyalur itu punya trik khusus supaya tetap bisa mengirimkan pakaian bekas ke kios Chandra. “Cara paling ampuh dengan menyogok, tapi kadang kalau sudah disogok pun petugas masih menyita barang,” ungkapnya. Makanya, para penyalur harus pintar “main kucing-kucingan” dengan petugas agar barang impor lolos.

Meski begitu, Chandra tidak perlu membayar biaya tambahan, karena masalah itu tanggung jawab penyalur. Ia merogoh kocek berkisar Rp 5 juta - Rp 10 juta untuk membeli satu bal pakaian dalam seken. Satu bal seberat 100 kilogram (kg) berisi ribuan potong pakaian dalam.

“Biasanya, razia impor pakaian bekas diperketat saat jelang Lebaran. Sebab saat seperti itu, pakaian bekas impor diburu konsumen," beber pria yang sudah berjualan sejak 1995 ini. Akibatnya, pasokan bisa terhenti. Tapi, lanjutnya, hal itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar seminggu.

Pedagang lainnya, Rinda Silaen mengaku, selama ini usahanya tidak terlalu terkendala larangan impor pakaian bekas. Ia tidak pernah kesulitan mendapat pasokan pakaian bekas. “Aman-aman saja,” ucapnya.

Ibu tiga anak ini bilang, ia membeli pakaian seken impor dari penyalur di Batam. Awalnya, penyalur yang mendatangi dia dan mengajak kerja sama bisnis. Selanjutnya, Rinda tinggal memesan pakaian bekas yang diinginkan melalui penyalur tersebut. “Saya tidak tahu bagaimana prosedur di sana. Pokoknya, kalau saya minta barang dikirimkan, tidak pernah ada masalah,” imbuhnya.

Untuk satu bal sapu tangan, ia mengeluarkan biaya Rp 5 juta - Rp 8 juta. Satu bal berisi sekitar 3.000 lembar sapu tangan. Harga itu bisa naik sewaktu-waktu, tergantung nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.

Senada dengan Martua yang juga memasok pakaian seken dari Batam. Menurutnya, meski ada larangan dari pemerintah, dan konsumen tahu soal itu, namun permintaan tetap tinggi. "Larangan itu tak diacuhkan," ujarnya. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait


TERBARU

[X]
×