Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi
Keramik tanah liat tidak ada matinya. Produk kerajinan ini masih menjadi pilihan pelengkap perangkat hiasan interior dan eksterior ruangan. Pasarnya cukup luas hingga ke mancanegara. Asal ada inovasi produk, pasti pesanan akan terus mengalir bersamaan dengan laba yang menjanjikan.
Meski usianya baru lima tahun, Langkat Keramik, pengrajin keramik berbahan baku tanah liat berbasis di Medan, Sumatera Utara, terbilang sukses. Produk-produknya sudah melanglang buana ke berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Swedia, Spanyol, dan Timur Tengah.
Kusna Hendrika dari Divisi Pemasaran Langkat Keramik bercerita, ilmu membuat bermacam-macam jenis keramik didapat dari berguru ke sejumlah sentra industri keramik di Tanah Air termasuk Plered, Purwakarta, yang namanya sudah kesohor ke mana-mana. "Walaupun berdiri pada 2005 lalu, kami baru memulai produksi di 2008," ungkap Kusna.
Saat ini, Langkat Keramik memiliki 17 perajin dan tujuh staf kantor. Produk keramik buatan mereka, antara lain tembikar, vas, serta pot bunga berukuran besar beraksen dan berornamen.
Produksi keramik tanah liat Langkat Keramik 100% murni buatan tangan. Ya, kalaupun ada bantuan mesin, perannya tidak banyak-banyak amat. "Kapasitas produksi kami mencapai satu kontainer atau 2.000 unit per bulan," tutur Kusna.
Kelebihan keramik made in Langkat Keramik ini terletak pada tanah liatnya yang hanya dengan sedikit campuran. Sumber bahan baku mereka berasal dari Sumatera Utara.
Harga jual produk Langkat Keramik bervariasi, mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 10 juta per buah. "Secara total omzet kami per bulannya antara Rp 50 juta hingga Rp 60 juta untuk pasar lokal saja," kata Kusna.
Tapi, pasar lokal Langkat Keramik masih sebatas menjangkau Pulau Sumatra doang. Tahun ini, mereka baru menjajal pasar di Jawa dengan mengikuti beberapa pameran. "Kami berniat membuka galeri di Jakarta," ungkap Kusna.
Tentu saja, Langkat Keramik harus bersaing dengan industri keramik tanah liat di Jawa yang usianya sudah puluhan tahun, termasuk dengan guru merek, para perajin dari Plered. Eman Sulaeman, misalnya, perajin dari Plered yang berkibar melalui Wisman Wijaya Keramik.
Eman yang juga Ketua Kelompok Kerja Klaster Keramik Plered mengatakan, usaha kerajinan keramik di daerahnya sudah ada sejak zaman kakek buyutnya. Setelah berguru dari kakek dan ayahnya, ia akhirnya mendirikan usaha sendiri pada 1993 lalu. "Dulu sekitar 70% dari produksi untuk ekspor," katanya.
Tapi, begitu krisis moneter melanda pada 1997-1998, pesanan ekspor menyusut. Eman pun sempat kelimpungan. Karena langganannya di pasar lokal sudah beralih ke perajin lain.
Kini, Eman mulai memperluas pasarnya kembali. Sekitar 60% produknya masuk ke pasar lokal, sisanya untuk ekspor. Omzet per bulan masih sebesar Rp 10 juta. "Asal ada inovasi produk, pasti ada aja order yang masuk," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News