kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,93   -18,79   -2.03%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Membangkitkan fulus dari produksi peti mati


Jumat, 05 November 2010 / 10:35 WIB
Membangkitkan fulus dari produksi peti mati


Reporter: Rivi Yulianti | Editor: Tri Adi

Peti mati bisa menjadi penting dalam upacara kematian agama tertentu. Selain bentuk penghormatan bagi almarhum, peti mati juga menunjuk status sosial keluarga almarhum. Jangan kaget, seorang perajin peti mati di Jakarta pun mampu meraup omzet hingga Rp 200 juta per bulan.

Prospek usaha peti mati menggiurkan. Persaingan bisnis yang berhubungan dengan jenazah ini masih longgar. "Orang menganggap bisnis ini musiman, padahal setiap hari pasti ada pesanan," ungkap Bui Cia, pemilik www.peti-mati.com.

Dalam sebulan, Cia bisa mendapat 20 hingga 30 order peti mati. Sekitar 70% di antaranya adalah reseller yang memesan secara online. Sisanya, konsumen yang membeli peti mati saat anggota keluarganya ada yang meninggal. "Untuk end user, strategi pemasaran saya bekerja sama dengan rumah duka, seperti Atmajaya dan Abadi," ujarnya.

Cara itu sangat efektif. Masyarakat yang memanfaatkan jasa rumah duka pasti akan menanyakan tempat penjualan peti mati. "Mereka tidak tahu karena kematian bukanlah hal yang bisa direncanakan," kata Cia.

Tak cuma dari dalam negeri, Cia juga mendapat pesanan dari luar negeri. Setiap dua atau tiga bulan sekali, ia mengirim satu kontainer berisi 100 peti mati. "Saya perbaiki kualitas finishing peti mati untuk ekspor, meski harga jualnya sama," ujar dia.

Untuk bahan baku, Cia menggunakan kayu mahoni, jati, dan pinus impor dari Selandia baru. "Pinus yang termahal," katanya.

Ia menjual peti mati dengan harga Rp 5 juta sampai Rp 25 juta per unit. Tiap bulan, Cia mampu meraup omzet antara Rp 100 juta hingga Rp 200 juta.

Target pasarnya, kelas menengah atas. "Kalangan ini biasanya pesan peti mati yang harganya di atas Rp 20 juta," ungkap Cia.

Ia menawarkan beragam corak, misalnya, dengan ukiran atau warna tertentu. "Yang paling diminati adalah ukiran perjamuan kudus (perjamuan terakhir Yesus bersama murid-Nya sebelum wafat)," ujar Cia.

Tak hanya itu, Cia juga menyediakan peti mati dengan teknik lukis airbrush. "Gambar fun, seru, dan jauh dari kesan seram," ucapnya. Peti mati yang biasanya dipesan untuk remaja atau anak-anak ini dibanderol seharga Rp 30 jutaan.

Sanjaya Aminudin, pemilik CV Pesona Furniture, produsen peti mati di Bantul, Yogyakarta membidik kalangan menengah bawah. Berbahan baku kayu kelas dua, seperti jawa, sengon, randu alas, dan jati, ia memasang harga mulai Rp 800.000 sampai Rp 6 juta per peti. Bagi yang berduit lebih, bisa memesan peti berhias patung tembaga.

Hampir 95% pembeli peti mati buatan Sanjaya, adalah reseller. "Tiap empat bulan, ada pembeli dari Yogyakarta yang memesan 500 buah sekaligus," ujar dia.

Pasar peti mati di Yogya masih sangat luas. Produksi peti mati lokal baru memenuhi 35% permintaan. Sisanya, dipenuhi barang dari Jepara atau impor dari China. Tak heran, karena perajin peti mati di wilayah ini masih sangat jarang. "Total perajin besar tidak sampai 15 orang," kata Sanjaya.

Padahal, Sanjaya mengungkapkan, kualitas kayu peti mati asal China sangat jelek. Kelebihannya, finishing-nya lebih bagus lantaran dikerjakan dengan mesin. Namun, "Dengan kualitas lebih rendah dari produk lokal, mereka pasang harga bisa berlipat-lipat kali lebih mahal," ujarnya.

Makanya, Sanjaya menuturkan, prospek bisnis peti mati terutama di Yogya sangat cerah. Sebab, umur manusia terbatas, setiap orang pasti akan mati. Asal jeli melihat peluang, "Dimana ada orang mati, di situ ada peti mati," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×