kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dari penyiar radio, Iwet menjelma jadi juragan batik


Sabtu, 21 April 2018 / 10:10 WIB
Dari penyiar radio, Iwet menjelma jadi juragan batik


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Pria bernama lengkap Wethandrie Ramadhan ini memang mengawali karirnya sebagai penyiar radio. Lebih dari 10 tahun ia berkecimpung di dunia hiburan. Namun sejak tahun 2009, tak hanya jatuh cinta pada dunia radio, Iwet juga jatuh hati pada batik nusantara.

Didorong oleh kecintaannya pada batik nusantara, Iwet mendirikan label TIK Prive pada 2010. Sebelumnya, pria kelahiran Yogyakarta ini terlebih dulu meriset aneka motif batik nusantara. Ia  blusukan ke pusat batik di Indonesia seperti Pekalongan, Solo, Jogja, Madura sampai Cirebon untuk mempelajari batik.

TIK Prive sejatinya berawal dari kegelisahan Iwet lantaran masih banyak orang yang tak kenal motif batik. "Saat ada klaim batik dari Malaysia, saya bikin polling di siaran saya untuk menggali pengetahuan masyarakat soal batik," ujarnya. Lantas, Iwet berinisiatif untuk memperkenalkan motif batik sekaligus menjalankan bisnis fesyennya secara serius.

Produk awal yang meluncur adalah kaos bermotif batik. Kaos tersebut dilengkapi dengan keterangan tentang pengetahuan motif batik apa yang melekat di kaos tersebut. “Jadi TIK Prive ini adalah solusi untuk membagi pengetahuan tentang batik untuk masyarakat sekaligus saya bisa jualan,” kata Iwet.

Maklum, setiap motif batik punya cerita dan filosofi tersendiri. Aneka pakaian bermotif batik yang dikemas modern ala Tik Prive dibanderol mulai Rp 250.000 sampai jutaan rupiah.

Tak hanya mendirikan label TIK Prive, pria kelahiran Juli 1981 ini juga membesut JKT Creative pada 2017. Sedikit berbeda dengan TIK Prive yang menawarkan kreasi batik modern dengan cerita dan filosofinya, JKT Creative menjual merchandise khas Jakarta.

Iwet pun berharap, JKT Creative ini bisa jadi solusi oleh-oleh khas asal Jakarta. “Masalahnya, setiap datang ke Jakarta sulit menemukan oleh-oleh khas yang bisa dibawa," katanya. JKT Creative ini menyediakan t-shirt, tas, scarft dan bordir pin bermotif khas Jakarta. Ada beberapa motif budaya betawi seperti ondel-ondel, bajaj,” jelasnya. Harga aneka produk JKT Creative dibanderol mulai Rp 30.000 untuk pin bordir sampai Rp 450.000 per item.               

Enggan disebut desainer, Iwet pilih jadi tukang dagang

Iwet Ramadhan kerap diidentikkan sebagai fesyen desainer dengan spesialisasi kreasi batik. Namun, Iwet pun tegas menampik hal tersebut. Menurutnya, lebih pas disebut enterpreneur.

“Saya ini bukan desainer karena saya nggak punya latarbelakang sekolah desainer. Sebenarnya, saya itu dagang, tukang jualan aja. Saya punya tim desain sendiri,” tutur Iwet.  

Lulusan arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung ini mengungkapkan, ketertarikannya pada bidang wirausaha sudah ada sejak kecil. Dulu, Iwet pernah berjualan kartu ucapan Idul Fitri dan Natal berbagai motif yang ia gambar sendiri. Ia juga pernah menjual kacamata yang diambilnya dari kawasan Melawai dan dijual di sekolah. “Memang dari dulu otaknya isinya dagang kali ya,” kenang Iwet.

Menurutnya,  seorang enterpreneur sangat dinamis. Banyak hal kreatif yang bisa dilakukan seperti memikirkan konsep promosi, marketing, penjualan sampai pengembangan konsep produk baru. Baginya,  kegiatan tersebut sangat memicu adrenalinnya. “Kan enterpreneur itu katanya bukan soal ide gila-gilaan tapi bagaimana bisnis tersebut bisa memecahkan suatu masalah. Proses itulah yang saya suka,” ujar Iwet.

Ia tentu tidak sendiri dalam memproduksi produk TIK Prive dan JKT Creative. Keduanya punya tim desain masing-masing. Selain tim desain, ada pula penjahit yang menggarap produk. Sedangkan Iwet sendiri membuat motif dan mengatur konsep padu padan warna produk tersebut. “Jadi, saya ini matanya yang melihat produk itu kira-kira bisa layak atau tidak dijual dengan harga sekian. Taste produk batik ini ada di saya dan saya juga yang buat motifnya agar lebih modern,” terang Iwet.

Pria 36 tahun ini berpendapat, banyak perajin maupun produsen batik di Indonesia belum peka terhadap taste atau tren pasar. Hal itu membuat batik kurang laku di pasaran. Modelnya juga cenderung kuno, dan ini jadi tantangan tersendiri baginya.

Iwet pun mengemas batik  lebih modern tanpa mengurangi unsur klasik dan sejarahnya. Ia memberi masukan ke perajin soal pemilihan warna, juga pengemasan. “Masak kain batik harga jutaan kemasannya pakai tas plastik biasa," tandas Iwet.                          

Menggandeng ibu-ibu penghuni rusunawa Jakarta

Tak hanya mengejar untung, Iwet Ramadhan juga menyalurkan karya sosialnya. Ia mengajak ibu-ibu dari lima rusunawa di Jakarta dalam proses produksi. Sebanyak 30% dari total produk JKT Creative merupakan hasil karya para ibu sejumlah rusunawa, seperti Rusunawa Pulogebang, Rusunawa Marunda, Rusunawa Pesakih, Rusunawa Flamboyan dan Rusunawa Rawabebek.  

Saat ini, ada 60-an ibu-ibu rusunawa yang sudah digandeng Iwet. Iwet menerapkan sistem beli putus untuk produk hasil karya para ibu Rusunawa. Maka dari itu, kontrol kualitas produk dijaga ketat.

Ide Iwet untuk melibatkan ibu-ibu terinspirasi dari sebuah buku berjudul Sarinah. Dalam buku tersebut, pria berzodiak Leo ini menemukan keyakinan bahwa perempuan adalah ujung tombak keluarga dan bangsa. Ia percaya jika perempuan bisa lebih berdaya, maka bangsa Indonesia bisa berkembang lebih hebat lagi.

Ia pun mengungkapkan alasan mengapa memilih ibu-ibu rusunawa sebagai sasaran pelatihan, karena banyak permasalahan yang harus diselesaikan, terutama sektor ekonomi. Hampir semua warga rusunawa memiliki pekerjaan seadanya, seperti pekerja kasar, buruh pabrik maupun pekerja serabutan yang pendapatannya tidak tetap. "Program kerjasama ini paling tidak bisa membantu mereka berpenghasilan tambahan. Percaya diri mereka juga makin meningkat karena punya skill," kata Iwet.

Ia pun menjelaskan, label TIK Prive miliknya diistirahatkan sementara, karena dirinya fokus pada program pelatihan para ibu Rusunawa. Iwet bilang biaya operasional yang dikeluarkan untuk TIK Prive cukup tinggi.

Sehingga, ia harus memikirkan ulang soal skema bisnisnya. "TIK Prive saya freeze mulai 2016 dan nanti bakal berjalan lagi September tahun ini. Cost-nya tinggi dan saya harus pikir kembali skema bisnisnya. Ada kerjasama pelatihan ini juga sambil menyiapkan amunisi," ungkapnya.

Ia berharap dengan adanya pelatihan membatik di Pulogebang bisa menjadi amunisi TIK Prive dan JKT Creative untuk lebih berkembang lagi. Iwet juga berharap suatu saat bisa punya perajin batik di Jakarta. Sehingga dirinya tak perlu repot blusukan lagi dari pusat-pusat batik lainnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×