Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Pascabangkrut menjalankan usaha kain rajut, Dedi Suherman bekerja keras mencari modal. Setelah tiga tahun, akhirnya, dia mendapat pinjaman modal dari bank. Dengan modal itu, ia bangkit lagi, membeli mesin dan memulai usaha rajutannya kembali. Walau pernah gulung tikar, Dedi tak pernah menyerah.
Setelah tiga tahun hidup dalam kesusahan, nasib Dedi Suherman berangsur membaik. Pada 2002, ia memperoleh pinjaman bank untuk modal usaha rajutan dari awal alias nol lagi. Dana pinjaman bank sebesar Rp 40 juta langsung ia pakai untuk membeli mesin rajut baru.
Dengan dana itu, Dedi juga mulai memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya dengan mengontrak sebuah rumah petak dengan satu kamar. Ia lantas menyulap rumah petak itu sebagai workshop alias bengkel kerja usaha rajutannya. Untuk meningkatkan produksi, dia juga menambah mesin rajut, seperti lingking, sulam, dan steam.
Meski pernah berkecimpung di usaha rajut sebelumnya, perlu waktu lama bagi Dedi untuk mendapatkan pelanggan. Faktor distribusi dan penjualan inilah yang menjadi tantangan baru baginya. Tapi, berkat bantuan teman-teman lama di Sentra Rajut Kampung Binong Jati, Bandung persoalan distribusi itu bisa terselesaikan.
Pria 37 tahun ini berhasil mendapat pelanggan pertama dari Jakarta dengan mengandalkan promosi mulut ke mulut. Lambat laun, permintaan kain rajutan semakin bertambah. Pada 2003, ia resmi mencantumkan merek dengan nama Nugs Colection. "Alhamdulillah, sekarang makin maju," katanya.
Setiap pekan, Dedi mampu memproduksi 200 lusin kain rajutan. Saat ini, ia bahkan bisa dikatakan sebagai pengusaha kain rajutan yang cukup sukses di Kampung Binong Jati. Tiap bulan, tidak kurang dari Rp 200 juta, penghasilan yang berhasil dikantongi Dedi.
Tak hanya soal omzet, Dedi juga sukses dengan jumlah mesin rajut yang kian banyak. Sebab, di Kampung Binong Jati, kesuksesan tidak hanya diukur dari jumlah omzet yang diraup, tapi juga jumlah jumlah mesin yang dijalankan. Semakin banyak seorang perajut memiliki mesin, semakin besar kapasitas produksinya.
Sekarang, Dedi menjalankan 24 mesin rajutan dengan 25 pegawai. Dengan mesin-mesin itu, ia menghasilkan 40 lusin kain rajut tiap hari. "Setiap minggu, saya mengirimkan tiga kali kain rajut ke pelanggan sebanyak 120 lusin" tutur Dedi.
Sebanyak 25 karyawan Dedi bekerja berdasarkan tahapan produksi. Sehingga, hanya perlu waktu satu hingga dua jam untuk memproduksi model rajut yang berbeda. Ia menjelaskan, ada pekerja yang khusus bertugas merajut pola dan model, ada pula yang menjalankan mesin. "Saya membagi berdasarkan tahapan untuk mempercepat proses produksi," katanya. Upaya ini efektif untuk mengantisipasi permintaan produksi yang tinggi saat musim lebaran dan akhir tahun.
Satu lusin kain rajut, Dedi menjualnya dengan harga Rp 240.000 hingga Rp 360.000. Dengan harga itu, dia mampu mengumpulkan omzet Rp 50 juta sampai Rp 60 juta tiap pekan. Dia mengatakan, rata-rata omzet pengusaha rajutan di Kampung Binong Jati memang sebesar itu. Dengan begitu, transaksi di sentra ini per minggu mencapai mencapai miliaran rupiah.
Pasar utama pengusaha kain rajut Kampung Binong Jati adalah Pasar Tanah Abang, Jakarta. Selain itu, juga dijual ke Bandung, Tasikmalaya, dan Garut. Meskipun sempat mengirim produksinya ke Malaysia, Arab, dan Thailand, kini, kegiatan ekspor itu telah terhenti. "Ekspor dulu sekali tahun 1990-an sebelum krisis moneter," katanya.
Setelah krisis moneter 1997-1998, pasar lokal yang justru lebih banyak datang. Tak mau tergantung penjualan dalam jumlah besar, Dedi berencana membuka toko ritel untuk menjual kain-kain rajut buatannya.
Dedi bersama para pengusaha rajut Kampung Binong Jati lainnya juga mendirikan organisasi dengan nama Paguyuban Rajut Muda Bandung. Perkumpulan ini berangkat dari keresahan para pelaku usaha di sentra ini. "Kami merasa pemerintah daerah setempat tidak terlalu memperhatikan infrastruktur menuju Kampung Binong Jati," ungkap Dedi.
Menurut Dedi, pemerintah daerah seharusnya lebih memperhatikan pembangunan infrastruktur ke Kampung Binong Jati. Apalagi, sentra rajutan ini telah ditetapkan sebagai salah satu tujuan wisata do Kota Bandung pada 2007 lalu.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News