Reporter: Fahriyadi | Editor: Tri Adi
Gara-gara melihat limbah salak pondoh berserakan, tebersit keinginan Dita Adi Saputra untuk mengolahnya menjadi bioetanol. Merangkul petani salak pondoh di Kelurahan Bangunkerto, Sleman, Yogyakarta, ia sukses mengolah salak menjadi bioetanol. Kini upayanya tersebut mulai dilirik banyak orang.
Selain enak disantap, buah salak pondoh ternyata bisa mendatangkan banyak manfaat. Salah satunya, bisa diolah menjadi sumber energi terbarukan, yaitu bioetanol. Upaya mengolah salak pondoh menjadi etanol ini mulai dikembangkan di Kelurahan Bangunkerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Upaya tersebut diprakarsai oleh Dita Adi Saputra, sarjana Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada (UGM). Atas hasil temuannya itu, Dita belum lama ini dinobatkan sebagai juara dalam ajang Community Entrepreneur Challenge 2010 dari British Council.
Pengolahan limbah salak menjadi etanol dirintisnya sejak 2009. Ide awalnya datang setelah melihat melimpahnya pasokan salak pondok di Bangunkerto, Sleman. Bahkan, saking melimpah, banyak buah salak pondoh yang busuk dan menjadi limbah karena tidak terserap pasar. "Di Bangunkerto itu ada 10,32 hektare kebun yang memproduksi 950 ton buah salak per bulan," kata Dita.
Lewat bendera Fruitanol Indonesia, Dita kemudian mulai menjajaki pengolahan limbah salak menjadi etanol. Enam bulan setelah lembaga itu berdiri, ia bersama beberapa rekannya mulai merakit peralatan pengolah limbah salak menjadi etanol. Pengolahannya sendiri melalui proses fermentasi.
Melalui lembaga itu, ia melakukan pelatihan kepada petani salak tentang pembuatan etanol dari bahan limbah salak. Ia menjelaskan, setiap 20 kilogram limbah salak dapat diolah menjadi dua liter bioetanol.
Dita mengaku, manfaat pelatihan ini besar bagi petani. Bioetanolnya sendiri bisa menjadi energi alternatif, sementara sisa fermentasi bioetanol bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Setelah petani menguasai cara pembuatan etanol, ia pun mencetuskan berdirinya Desa Agrowisata Teknologi di Bangunkerto tersebut. Selain sebagai tempat wisata, desa binaannya itu juga dijadikan tempat pelatihan bagi siapa pun yang ingin belajar mengolah salak menjadi bioetanol.
"Kami hanya konsultan, para petani berperan sebagai pemandu dan pengajar dalam pelatihan ini," ujarnya.
Saat ini, Desa Agrowisata Teknologi mulai dilirik banyak orang. Setiap bulan mereka bisa menerima lima kunjungan kelompok yang rata-rata berjumlah 50 orang. Untuk kunjungan itu, setiap orang dipungut bayaran Rp 8.000. Selain itu juga dikenakan biaya lain, seperti biaya pelatihan. Selama pelatihan mereka menggunakan peralatan yang diciptakan Dita dan rekannya itu.
Menurut Dita, dari agrowisata teknologi itu saja pihaknya mampu mengumpulkan pendapatan hingga belasan juta rupiah per bulan. Itu belum termasuk pendapatan dari hasil penjualan etanol dan salak. "Kalau dihitung bisa di atas Rp 20 juta per bulan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News