Reporter: Revi Yohana | Editor: Tri Adi
Terdorong keinginan membuka lapangan pekerjaan bagi anak-anak tunagrahita, Eka Kurniawan mendirikan usaha pembuatan mainan edukatif. Bersama anak tuna grahita, saat ini ia mampu menghasilkan ratusan mainan edukatif dengan omzet mencapai Rp 20 juta per bulan. Usaha ini dirintisnya sejak 2003.
Sejak tahun 1992, Eka Kurniawan menjadi seorang guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 2 Yogyakarta. Selama puluhan tahun berinteraksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus ini, ia terdorong untuk membuka lapangan pekerjaan bagi anak didiknya tersebut.
Berangkat dari keinginan itu, ia kemudian mendirikan usaha pembuatan mainan edukatif. Usaha ini dirintisnya sejak tahun 2003. Sesuai keinginannya, ia pun merekrut sebagian karyawan dari anak didiknya itu.
Di bawah bendera usaha ABC Toys, saat ini Eka mampu menghasilkan ratusan mainan edukatif per bulan. Beberapa mainan dibuat dari kayu, seperti labirin dan puzzle. Selain itu, ada juga boneka jari, boneka tangan, mobil-mobilan, dan lainnya.
Di sekolahnya, Eka menjadi guru keterampilan kayu. Sekolah tersebut khusus mengajar anak-anak tuna grahita. Yakni, anak-anak dengan kekurangan atau keterbatasan dari segi mental dan intelektual.
Selama menjadi guru keterampilan, Eka fokus mengajari anak-anak didiknya membuat mainan kayu. "Kami membuat sendiri alat peraga sekolah. Awalnya semua terbuat dari kayu, seperti puzzle dan labirin," ujar pria 45 tahun ini.
Dengan pendampingan, ternyata anak didiknya mampu membuat mainan kayu. Ia kemudian berinisiatif mendirikan sanggar bagi anak-anak yang ingin memperdalam kemampuan membuat mainan kayu di luar jam sekolah.
Ia juga kerap menampilkan karya anak didiknya itu di pameran-pameran. Dari situ, permintaan kemudian mulai berdatangan. Eka pun senang karena anak-anak didiknya memiliki kegiatan positif.
Namun, ia khawatir selepas sekolah kemampuan anak didiknya ini tidak tersalurkan. Selain itu, masih jarang sekali lapangan kerja yang mau menerima tuna grahita menjadi karyawan. "Jika dibimbing dengan baik, anak-anak ini juga mampu mengerjakan bagiannya," ujar Eka.
Menurutnya, kelebihan penyandang tuna grahita ada pada ketekunan mereka dalam bekerja. Selain itu, mereka juga bagus menekuni pekerjaan yang sifatnya rutin atau berulang-ulang.
Menyadari potensi anak didiknya itu, Eka lalu mendirikan ABC Toys. Di awal mendirikan usaha, ia merekrut penyandang tuna grahita menjadi karyawan. Namun, kini karyawan tuna grahita sedikit menyusut. Dari 10 orang, kini tersisa tiga orang yang tuna grahita. "Sebelumnya, setengah karyawan kami adalah tuna grahita," ujarnya.
Para pekerja Eka adalah penyandang tuna grahita yang sudah lulus SMA. Menurutnya, mempekerjakan tuna grahita penuh tantangan. Selain tak bisa dipasang target, kadang mereka tidak menghasilkan karya sesuai dengan standar.
Ia menggaji mereka dengan upah di atas upah minimum regional (UMR) dan memiliki standar sama dengan karyawan normal. "Tak ada perbedaan gaji," ujarnya.
ABC Toys kini memproduksi 300-500 mainan edukatif per bulan. Harga mainan dijual mulai Rp 5.000- Rp 100.000 per unit. Omzetnya sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta per bulan. Konsumen utama mereka kebanyakan dari pemilik playgroup atau pendidikan anak usia dini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News