kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga cabai kian pedas, usaha cabai giling lesu


Senin, 10 Januari 2011 / 10:49 WIB
Harga cabai kian pedas, usaha cabai giling lesu


Reporter: Gloria Natalia, Ragil Nugroho | Editor: Tri Adi

Petani cabai mungkin senang dengan kenaikan harga cabai yang menggila belakangan ini. Tapi, bagi para penggiling cabai, lonjakan harga itu tidak membawa pengaruh baik. Mereka harus rela memangkas untung agar tetap bertahan, karena bahan baku mahal bukan main. Sementara, harga cabai giling tak bisa naik banyak, agar tidak ditinggal pembeli.

Harga cabai yang meroket sejak Desember 2010 terus berlanjut sampai sekarang. Pendapatan para penggiling cabai memang naik mengikuti kenaikan harga cabai. Tapi, untung yang mereka dapat cuma setengah dari harga cabai normal.

Bani Adam Sembiring, produsen cabai giling di Pasar Senen, Jakarta Pusat, bilang, pembeli kerap bertanya soal harga yang naik pascalonjakan harga cabai. Terpaksa, ia harus berulang kali menjelaskan, bahwa harga bahan baku terus saja menanjak.

Sampai Kamis pagi (6/1), Bani mengungkapkan, harga cabai di Pasar Induk Kramat Jati masih tinggi. Cabai rawit merah yang paling meroket di antara jenis lain. Harganya menembus Rp 90.000 per kilogram (kg). "Setelah digiling, saya jual Rp 100.000 per kg," kata Ucok, nama sapaan akrab Bani.

Bani menggiling cabai rawit merah dan hijau, cabai merah besar, dan cabai keriting dengan sebuah mesin giling miliknya yang terparkir di ujung kios.

Para pelanggan Ucok yang kebanyakan pemilik katering, restoran, dan warung makan kaki lima, mau tak mau harus membayar harga jual cabai rawit merah giling Rp 100.000 per kg. Cabai rawit merah memang incaran mereka sebagai bumbu terpenting membuat gulai dan sambal.

Menurut Ucok, dengan harga segitu, ia memang bisa meraup omzet Rp 9 juta per hari. Saat harga cabai normal, pendapatannya hanya Rp 6 juta. Namun, omzet besar tak diikuti kenaikan laba.

Ucok mengambil untung Rp 10.000 setiap kg. Laba ini jauh berkurang dibandingkan sat harga cabai rawit merah normal di Rp 50.000 per kg. Harga normal cabai rawit merah ini hanya bertahan tiga pekan sebelum Natal.

Laba Ucok berkurang lantaran ia memproduksi cabai rawit merah giling lebih sedikit ketimbang sebelum harga cabai menggila. "Sampai Desember, saya bisa memproduksi 80 kilogram cabai rawit merah giling, sekarang cuma 50 kg," tutur Ucok di kiosnya, Sumber Rejeki.

Ucok harus menurunkan produksi cabai rawit merah giling karena sebagian besar pembeli mengurangi konsumsinya. Ambil contoh, pelanggan yang biasa membeli 3 kg, sejak harga cabai naik mereka cuma berbelanja 1,5 kg saja. "Pembeli memang tidak berkurang banyak, tapi belanja mereka jauh berkurang," tutur Ucok, generasi ketiga Sumber Rejeki yang sudah memproduksi cabai giling sejak 15 tahun lalu.

Selain cabai rawit merah, harga cabai keriting juga ikut-ikutan sinting. Ucok mengungkapkan, harga cabai keriting di Pasar Induk sekarang ini mencapai
Rp 40.000 per kg. Ia melego bentuk gilingan di harga Rp 50.000. Sehari, dia memproduksi 50 kg, turun 10 kg setelah harga naik.

Padahal, Ucok menuturkan, sama seperti cabai rawit merah, cabai keriting pun banyak diburu pembeli. "Saya kira harga cabai ini akan terus tinggi sampai Imlek nanti. Harga cabai yang kita ikuti ini kan dari Makassar dan Manado, dibawa dari sana. Di Jawa, cabainya mana?" tanya Ucok.

Ucok pun harus menurunkan keuntungan karena pembeli lebih sensitif terhadap harga cabai rawit merah. Beberapa pembeli yang kerap berbelanja tak lagi menginjakkan kaki di kiosnya. Ia menghitung, saban hari, biasanya ada 200 pembeli yang datang.

Maklum, ia terpaksa memasang harga lebih tinggi Rp 1.000 per kg daripada kios lainnya. "Sekarang pembeli jadi lebih pilih-pilih pedagang," kata Ucok. Untungnya pun turun 30% dibandingkan saat harga cabai normal.

Sekitar 100 meter dari kios Sumber Rejeki, Geovanta Tarigan juga mengeluh. Katanya, separuh pembelinya lenyap pascalonjakan harga cabai. "Sudah sejak Senin (3/1) lalu sepi pembeli. Kalau pun ada pembeli, belanjanya sedikit," ungkap dia.

Geovanta menyebutkan, seorang pemilik katering yang biasa memesan 10 kg cabai giling, kini hanya membeli 5 kg. Ada juga penjual mie ayam yang biasa membeli setengah kg, sekarang cuma berbelanja satu ons cabai giling.

Serupa dengan ucok, Geovanta menjual cabai giling rawit merah seharga Rp 100.000 per kg. Tapi, ia menjelaskan, harga bumbu masakan lain juga pada naik seiring kenaikan harga cabai.

Contoh, dia menjual bumbu rendang untuk sekilogram daging Rp 7.000, naik Rp 2.000 dari sebelumnya. Bumbu gulai juga naik Rp 2.000 menjadi Rp 8.000 untuk sekilogram daging. "Bumbu ayam rica untuk sekilogram daging saya jual Rp 7.000. Kalau mau lebih pedas tambah cabe rawit jadinya Rp 8.000," imbuhnya.

Geovanta harus rela cabai rawit gilingnya tahan berhari-hari tak terbeli. Sebelum harga cabai naik, ia bisa memproduksi 50 kg cabai rawit merah giling. Produksi itu ludes terjual dalam setengah hingga satu hari. "Sekarang, cabai ini sudah tiga hari belum habis-habis,” katanya sambil menunjuk baskom berisi penuh cabai rawit merah giling.

Jadinya, tiga hari terakhir, ia tidak berbelanja cabai di Pasar Induk Kramat Jati. Padahal, biasanya dua hari sekali Geovanta berburu cabai rawit merah, cabai rawit hijau, dan cabai keriting. Omzet Geovanta pun menurun. Ia hanya memperoleh Rp 3 juta per hari atau turun 40% setelah harga cabai kian pedas.

Menurut Sutikno, produsen cabai giling di Pasar Palmerah, Jakarta Selatan, penjualannya merosot tajam semenjak harga cabai meroket hingga ke angkasa luar. Sebelumnya, ia memproduksi cabai merah giling 60 kg per hari, kini paling banter cuma 40 kg.

Omzetnya pun terjun bebas. Semula, ia bisa meraup pendapatan Rp 5 juta per hari. Namun, setelah harga cabai melonjak, ia hanya mengantongi Rp 3 juta. "Kalau begini terus kita makin terjepit," keluhnya.

Menurut Sutikno yang sudah berbisnis cabai giling selama 15 tahun, usahanya masih tertolong karena kultur kebanyakan masyarakat Indonesia yang menjadikan cabai sebagai bumbu utama. "Banyak yang merasa kurang nikmat kalau makan tanpa cabai," ujarnya.

Jadi, walau harga naik konsumen tetap ada. Justru, terkadang para pedagang yang tidak sampai hati menjual dengan harga tinggi. "Tapi, ya mau bagaimana lagi, namanya juga berdagang," tambah Sutikno.

Mayoritas pelanggan cabai giling Sutikno berasal dari rumah makan dan restoran padang. Termasuk warung-warung makan kaki lima yang juga ikut meramaikan pesanan cabai gilingnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×