Reporter: Dian Pitaloka Saraswati | Editor: Tri Adi
Meski sempat tidak naik kelas dan mendapat nilai buruk saat kuliah, Iwan Sunito tetap semangat belajar dan bekerja. Setelah menjadi arsitek, ia kini sukses di negeri tetangga bersama Crown International Holdings Grup yang didirikannya.
Jika pergi ke Sydney, Australia, Anda akan menemui beberapa apartemen pencakar langit yang menjadi tempat hunian warga. Beberapa di antaranya sebenarnya dibangun oleh orang Indonesia. Nah, salah satu perusahaan pengembang apartemen yang cukup terpandang di sana adalah Crown International Holdings Group yang dipimpin Iwan Sunito.
Di tangan Iwan, perusahaan yang berkantor pusat di New South Wales, Australia, ini tumbuh menjadi perusahaan properti bergengsi. Sejak berdiri 15 tahun lalu, Crown berhasil menggarap setidaknya enam proyek apartemen. Sebutlah Crown Bondi, Crown on the Hill di Pennant Hills, Millennium dan Icon di Homebush, Crown Citiview di Ashfield. Saat ini, Crown sedang menyiapkan tiga proyek apartemen baru dengan total investasi senilai Rp 18 triliun. Harga per unit sekitar Rp 5 miliar sampai Rp 9 miliar. Tahun lalu, Crown berhasil membukukan pendapatan Rp 1,5 triliun.
Tentu saja kesuksesan pria kelahiran Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dalam membangun Crown tidak terjadi dalam semalam. Pria berusia 45 tahun ini sudah meniti karier di bisnis properti sejak lulus kuliah di University of New South Wales (UNSW), Australia.
Malahan, bila menengok ke masa kecilnya seperti tidak menyangka Iwan bisa sesukses sekarang. Dulu ia harus berjuang melawan dirinya sendiri. Sebab, Iwan bukanlah termasuk siswa berprestasi. Waktu itu ia bahkan sempat minder dengan prestasi akademiknya. “Saya sempat tidak naik kelas saat SMA karena malas,” katanya.
Tapi, kecelakaan saat liburan menjadi titik balik yang membuat hidupnya berubah. “Saat tidak naik kelas, saya main ke Bali, lalu di sana tabrakan,” kata Iwan. Ia terbaring sekarat di rumah sakit selama lima hari. Pengalaman itu membuatnya sadar akan tujuan hidupnya. Ia merasa Tuhan mengizinkan hidup untuk suatu alasan.
Setelah berhasil lulus dari SMA St. Louis Surabaya, Iwan meminta restu orang tuanya untuk kuliah ke Australia. Ia berencana mengambil gelar sarjana arsitektur di Negeri Kanguru itu. Sebenarnya, menjadi arsitek bukanlah pilihan utama. Cita-cita Iwan adalah menjadi insinyur pesawat terbang. Kebetulan, hobinya adalah merancang gambar pesawat.
Nah, pada tahun pertama hingga ketiga kuliah, Iwan sempat kerepotan mengikuti pelajaran sehingga nilainya jelek. Tapi, ia tidak pernah kehilangan motivasi. Sang ibu senantiasa mendukung dan menyemangati-nya. Akhirnya, ia lulus dengan baik dari UNSW.
Setamat strata satu, Iwan lantas meneruskan pendidikan strata dua di bidang manajemen konstruksi, tetap di Australia. Selama kuliah, mantan koki sate ini tetap rajin menjual jasanya sebagai arsitek lewat proyek-proyek individual. Misalnya, mendesain dapur dan kamar mandi. “Sewaktu mengambil master of construction management, saya mengerjakan rumah mewah pertama,” ungkapnya bangga.
Setelah lulus strata dua pada tahun 1993, Iwan tidak berpikir untuk kembali ke Tanah Air. Ia memilih bekerja di perusahaan arsitek di Australia. “Saya melihat banyak peluang di Sydney,” tuturnya. Di kota itu, ia ingin menjadi pengusaha mandiri.
Karena itu, baru enam bulan bekerja, Iwan lantas mengundurkan diri dan mendirikan perusahaan arsitektur sendiri bernama Joshua International. “Menjadi entrepreneur sesuai dengan visi saya, secara moral maupun ekonomi,” katanya.
Awalnya ia hanya menggarap proyek kecil-kecilan. Jalan bisnisnya semakin lapang bertemu Paul Sathio, seniornya di UNSW, yang juga orang Indonesia. Paul yang sudah 10 tahun terjun di bisnis properti mengajak Iwan mendirikan perusahaan properti.
Beralih ke properti
Lantaran margin menjadi arsitek terbilang tipis, Iwan menerima pinangan itu dan mengubah bisnisnya menjadi perusahaan properti. Setelah mengerjakan beberapa proyek, tahun 1996, ia membuat perusahaan induk bernama Crown International Holding Group. “Dengan menjadi grup besar, kami bisa mengerjakan proyek besar dan menunjukkan brand kami,” katanya.
Meski begitu, ada cobaan paling berat saat krisis properti pada tahun 2004. “Pasar berpindah ke kota lain yang banyak pertambangan,” kata Iwan. Harga properti jatuh dan banyak proyek yang tidak laku. Banyak perusahaan properti bangkrut lantaran sepi pembeli. Beberapa proyek baru melambat karena kesulitan pembiayaan.
Dari krisis ini, Iwan melihat peluang. Ia lantas menata strategi perusahaan dengan memberdayakan agen properti handal yang hampir kehilangan pekerjaan saat krisis. Ia juga membeli tanah murah tanpa utang. “Gabungan motivasi, strategi serta branding yang kuat membuat kami bertahan dan maju,” katanya.
Tahun 2007, bisnis Crown makin besar. “Tahun 2011–2012, kami menargetkan pendapatan bisa mencapai Rp 4 triliun–Rp 4,4 triliun,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News