Reporter: Bambang Rakhmanto | Editor: Tri Adi
Gagal jadi pengusaha agen perjalanan, Sumartoyo harus rela "turun derajat" menjadi karyawan perusahaan batik kayu. Tapi, setelah bekerja dua tahun sebagai karyawan, Sumartoyo kembali menjadi pengusaha dengan membuka usaha batik kayu sendiri. Kini, ia menjadi eksportir batik kayu beromzet Rp 50 juta per bulan.
Membuat kerajinan kayu bernilai jual ternyata tidak selalu dengan diukir saja, tapi juga bisa dengan cara dibatik. Setidaknya itulah usaha Sumartoyo, yang berjualan produk kerajinan kayu yang dibatik atau batik kayu.
Sumartoyo memulai usaha produk kerajinan batik kayu ini sejak 1998 silam. Kini, dari usaha batik kayu ini Sumartoyo bisa mengukir omzet hingga Rp 50 juta per bulan.
Omzet itu dia kantongi dari penjualan batik kayu berbentuk meja, kursi, gelang, topeng, wayang, wadah buah, lemari, tempat tidur, hingga papan catur.
Sebelum menjadi pengusaha kerajinan batik kayu itu, Sumartoyo sempat buka usaha agen perjalanan. Namun usaha tersebut kandas di tengah jalan.
Agar tetap bisa mencari sesuap nasi, Sumartoyo terpaksa rela berstatus pekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi batik kayu di Solo, Jawa Tengah. Meski hanya sebagai staf, namun insting pengusaha Sumartoyo tak pernah padam.
Di tempat kerja itulah, Sumartoyo mengenal dan belajar dunia bisnis secara langsung. Dia belajar mulai cara memproduksi hingga bagaimana bisa laku di pasar.
Setelah dua tahun bekerja dan belajar, Sumartoyo memutuskan berhenti bekerja dan memilih kembali menjadi pengusaha. Pada tahun 1998. Dengan modal Rp 65.000, Sumartoyo mencoba memproduksi dan memasarkan sendiri produk batik kayu karyanya.
Sejatinya, di awal usaha itu, Sumartoyo tak murni memproduksi batik kayunya itu sendiri. Dengan cerdik dia memanfaatkan jasa para perajin miniatur mobil dan sepeda motor dari kayu di Boyolali.
Nah, lantaran tidak bisa membatik sendiri, urusan ini dia serahkan ke neneknya di Karanganyar. “Selesai dibatik, miniatur batik saya titip jual ke toko cenderamata dan toko batik,” katanya.
Dengan penuh semangat Sumartoyo menjalani bisnis barunya ini. Kali ini, dia sudah paham seluk beluk menjadi pengusaha. Tidak seperti kala dia membuka usaha agen perjalanan.
Dengan skuter butut miliknya, setiap hari Sumartoyo berjualan keliling batik kayunya ke penjuru kota Solo.
Semangat dan kerja keras Sumartoyo itu akhirnya berbuah manis. Tak sampai setahun, batik kayu jualannya itu kian laris manis.
Begitu modal cukup, Sumartoyo pun mulai buka sendiri bengkel batik kayu yang dia beri nama Puri Art di Karanganyar. Sejak itulah, Sumartoyo semakin kreatif mencari kerajinan kayu yang bisa dibatik.
Namun dalam hal produksi, Sumartoyo tetap menggunakan "cara lama", yakni mencari perajin kayu. Seperti batik topeng kayu. Topeng itu tak dia buat sendiri, tetapi dikerjakan perajin topeng kayu. "Topeng itu dibawa ke bengkel kemudian digambar setelah itu dibatik dengan canting," kata Sumartoyo.
Sama dengan proses batik lainnya, setelah selesai dicanting, maka kayu itu juga melalui proses pewarnaan melalui dua cara, yakni dengan direndam pewarna dan dicat menggunakan kuas.
Agar produk kayu batik yang diproduksinya kian dikenal, Sumartoyo mulai rajin ikut pameran, baik di dalam negeri maupun di luar negeri seperti Jepang, Singapura, Malaysia, China, Kamboja, Belgia, Belanda, hingga Kanada. “Dalam setahun, saya bisa ikuti empat pameran,” kata Sumartoyo yang pernah meraih penghargaan sebagai pengusaha kreatif 2009 oleh Bank BNI.
Karena sering ikut pameran itulah batik kayu dikenal di mancanegara. "Permintaan ekspor hingga sekarang masih tinggi," kata pria pehobi sepeda itu.
Setelah sukses membatik kayu, kini Sumartoyo bercita-cita memiliki showroom batik kayu. Ia ingin, batik kayu tidak hanya sebagai produk perdagangan saja, tetapi juga dikenal sebagai produk seni.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News