kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.205   64,04   0,90%
  • KOMPAS100 1.107   12,22   1,12%
  • LQ45 878   12,25   1,41%
  • ISSI 221   1,22   0,55%
  • IDX30 449   6,60   1,49%
  • IDXHIDIV20 540   5,96   1,12%
  • IDX80 127   1,50   1,19%
  • IDXV30 135   0,68   0,51%
  • IDXQ30 149   1,81   1,23%

Jeli melihat potensi daerah, Endang jadi juragan


Jumat, 04 Oktober 2013 / 14:11 WIB
Jeli melihat potensi daerah, Endang jadi juragan
ILUSTRASI. Sejumlah tamu beraktivitas di dekat logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020). Sejumlah Emiten BUMN Ini Kompak Bagikan Dividen Jumbo.


Reporter: J. Ani Kristanti, Melati Amaya Dori | Editor: Tri Adi

Berkat tikar mendong yang merupakan kerajinan masyarakat di tempat asalnya, Endang Kurniawan sukses banting setir dari seorang guru sekolah dasar menjadi pengusaha. Kini ia mampu menjual 500 kodi tikar mendong dalam sebulan dengan omzet ratusan juta.

Hampir setiap daerah memiliki kerajinan khas hasil keterampilan masyarakatnya. Bagi masyarakat di daerah Cibereum, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, produk keterampilan khas mereka adalah tikar mendong.

Keahlian anyam-menganyam yang melekat di masyarakat Desa Cihideung inilah yang menginspirasi Endang Kurniawan menekuni bisnis tikar mendong. Maklum, saat itu, meski warga pandai menganyam tikar, mereka hanya membuatnya untuk dipakai sendiri di rumah.

Awal merintis bisnisnya pada 1991, Endang yang waktu itu juga menyandang profesi sebagai guru sekolah dasar hanya bermodal Rp 500.000. Dengan duit pinjaman dari bank itu, ia memesan tikar dari tetangganya. “Saya hanya pesan ke tetangga yang tikar hasil buatannya cukup bagus,” tutur dia.

Lantas, di akhir pekan, Endang membawa hasil kulakannya ke Pasar Lama, Desa Cihideung, Tasikmalaya. “Ternyata, banyak juga yang membeli tikar mendong ini. Sekitar satu kodi tikar yang saya bawa selalu terjual,” kenang dia.

Sejak awal, Endang hanya fokus ke kegiatan pemasaran. Meski bisa menganyam tikar mendong sendiri, ia mengakui bahwa tikar buatannya kalah bagus dibandingkan dengan karya para pemasoknya. “Tapi, sebagai pengusaha, saya juga harus mengetahui seluk-beluk pembuatan tikar ini,” kata dia. Dari pengalamannya menjual tikar, Endang memahami selera pasar. Oleh karena itu ia sering memberi pengarahan kepada perajin tentang model tikar yang diinginkan konsumen.

Dengan fokus ke pemasaran, ayah tiga anak ini terus memperluas pasar. Selain membuka lapak di pasar, ia juga menitipkan tikar-tikar itu ke sejumlah gerai penjual peralatan rumah tangga. “Saya juga keliling, door to door, di sekitar Kecamatan Cibereum hingga Kota Tasikmalaya untuk menawarkan tikar ini,” terang dia.

Pelan-pelan, penjualan tikar mendong terus meluas. Ia juga menjaring beberapa distributor yang menjadi kepanjangan tangannya untuk memasarkan kerajinan ini.

Yakinkan plasma

Sayang, saat usahanya mulai terlihat besar, ujian datang. Pada 1996, Endang mendapat musibah. “Gudang saya terbakar, menghabiskan semua stok tikar mendong,” kata dia. Dia terpaksa mengulang produksi karena saat itu tikar-tikar pesanan beberapa distributor turut ludes terbakar. Meski begitu, supaya tak mengecewakan distributor, Endang berusaha tetap menepati waktu sesuai perjanjian dengan distributor.

Musibah kebakaran gudang itu menjadi pelajaran berharga buat Endang. Rasa kecewa pun terbayar, ketika Endang mendapat kesempatan untuk menjadi pengusaha binaan Dinas Perdagangan, Kabupaten Tasikmalaya, pada 1997. Saat itu, kebetulan, Dinas Perdagangan Tasikmalaya mengadakan pendampingan bagi pengusaha yang ingin serius mengembangkan tikar mendong.

Selama setahun, ia rajin mengikuti pelatihan. Mulai dari pelatihan membuat tikar mendong berkualitas, hingga konsep pengembangan pemasaran yang bagus. Dari pendampingan juga, Endang mengenal sistem plasma dengan memberdayakan masyarakat sekitar.

Seperti arahan yang didapatkan pada saat pendampingan, pria kelahiran Tasikmalaya ini segera menerapkan sistem plasma. Selain memasok bahan baku, Endang juga melatih anggota plasma membuat tikar mendong berkualitas. Pada 1998, masyarakat yang menjadi plasmanya sudah mencakup satu kecamatan.

Namun, dalam pengembangan plasma ini, Endang menghadapi tantangan tersendiri. Ia harus meyakinkan masyarakat bahwa pekerjaan membuat tikar bisa menghasilkan pendapatan. Maklum, saat itu, warga yang kebanyakan petani tidak berpikir bahwa pembuatan tikar bisa menjadi pekerjaan sampingan yang mendatangkan uang. “Saya meyakinkan bahwa hasil berapa pun akan diambil karena saya sudah mempunyai pasar jelas,” jelas Endang.

Keberhasilan warga memperoleh penghasilan dari tikar dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Hingga akhirnya, plasma produksi tikar mendong berkembang hingga tiga kecamatan. Saat ini, selain 24 kepala keluarga di Desa Cibereum, ada sekitar 14 kelompok plasma di Kabupaten Tasikmalaya yang memasok Endang. Tiap kelompok terdiri dari 20 hingga 90 perajin.

Seiring dengan bertambahnya produksi tikar mendong, Endang juga terus memperluas pasar. Lantaran menjadi binaan Dinas Perdagangan, CV Chahyati Craft, bendera Endang, sering mengikuti pameran di Bandung. Dari pameran itu, Endang bertemu dengan orang-orang yang ingin menjadi agen tikar mendong. Kini, agennya telah tersebar di seluruh Nusantara.

Berkat pasar yang semakin luas, Endang mampu membukukan omzet 500 kodi tikar saban bulan. Dengan harga jual rata-rata tikar Rp 55.000 per lembar, bisnis Endang kini memutar uang hingga Rp 550 juta setiap bulannya.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×