Reporter: Gloria Natalia | Editor: Tri Adi
Keterampilan membordir kain masyarakat Kawalu, Tasikmalaya, Jawa Barat sudah lama ada. Kini, keterampilan ini sudah berubah menjadi komoditas bernilai jual tinggi. Usaha bordir terus bermunculan, dari bordir kebaya, mukena, baju koko, hingga sarung kotak tisu. Seorang pengusaha bisa meraih omzet Rp 180 juta dari produksi mukena bordir.
Kecamatan Kawalu di Tasikmalaya, Jawa Barat menyimpan ketrampilan seni masyarakat yang konon sudah dilakukan nenek moyang mereka. Ketrampilan itu adalah membordir. Saat ini, ketrampilan membordir sudah menjadi sumber penghasilan tinggi bagi masyarakat di sana.
Epon semisal. Dua belas tahun yang lalu, Epon sudah membuka usaha bordir bernama Al-Adnan. Letaknya di Desa Karsamenak, Kecamatan Kawalu. Bila dulu ia membordir menggunakan cara manual yakni dengan tangan, saat ini tidak begitu lagi. Komputer sudah menggantikan tugas tangan-tangan ini. Dengan komputer, produksi bordir Kawalu menjulang tinggi dibandingkan bordir pakai tangan.
Epon menghitung, satu mesin komputer bordir bisa menghasilkan 250 kain per hari. "Kalau pakai tangan, satu komputer sama dengan satu bulan kalau pakai tangan," kata Epon.
Al-Adnan punya enam mesin bordir komputer. Keenam mesin itu digerakkan 35 pekerja tetap yang juga bertugas memotong dan menjahit kain serta mengepak barang jadi.
Selain pekerja tetap, Epon punya beberapa pekerja lepas yang bekerja dari rumah masing-masing. Mereka bertugas menyambung bordir di mukena dan baju koko yang hanya bisa dikerjakan oleh tangan.
Hasilnya, bordir tercetak rapi beraneka motif. Dari kerja produksi itu, dalam sebulan Al-Adnan bisa hasilkan 600 kodi hingga 700 kodi mukena dan baju koko bordir. "Saya bisa jual 100 kodi baju koko per minggu dan 25 kodi mukena per minggu," tutur pria berusia 34 tahun. Ia menjual mukena bordir Rp 1,8 juta per kodi. Dengan asumsi penjualan 100 kodi mukena bordir saja per bulan, Epon bisa mengantongi omzet Rp 180 juta.
Dengan produk berkualitas, Epon bisa menjual produknya dengan harga murah karena bahan kain ia dapatkan dari curahan pabrik di Majalaya. Dari pabrik itu, Epon dapat harga beli kain Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kain sepanjang 90 cm.
Mukena dan baju koko bordir keluaran Al-Adnan dipasarkan ke Jakarta, Surabaya, wilayah Sumatera seperti Bukittinggi, dan Pulau Kalimantan seperti Banjarmasin.
Omzet besar juga didapat Tini Hikmati Mulyani. Pengusaha bordir bermerek Arnita Collection ini memproduksi kebaya dan suvenir seperti sarung kotak tisu dan taplak meja bordir. Berbeda dengan Epon, Tini tetap mempertahankan pengerjaan bordir pakai tangan. "Sebagus-bagusnya buatan mesin, kerajinan tangan punya keunggulan," ujarnya.
Dengan bordir manual, motif satu dengan yang lain pasti berbeda. Pelanggan puas, harga juga bisa berlipat.
Waktu membordir yang cukup lama yakni empat hari sampai lima hari pengerjaan untuk kain kebaya menjadi kendala. Makanya, dalam sebulan, Arnita yang dibantu enam pegawai hanya bisa menghasilkan 50 sampai 60 kebaya bordir saban bulan. "Rata-rata satu kebaya dikerjakan dua hari," ujarnya.Adapun suvenir bisa ia hasilkan 1.000 buah per bulan. Setiap pekerja, mampu menghasilkan 30 sampai 40 suvenir.
Tini memasang harga bervariasi untuk produknya. Misal, kebaya bordir dari sutera berharga mulai Rp 400.000 sampai Rp 1,5 juta per potong dengan bahan rawsilk, sutera organdi, sutera alam, dan sutera tenun. Ada pula kebaya dari sutera sintetis campuran polyester dengan harga
Rp 250.000-Rp 400.000.
Tini mendapat pasokan bahan dari Jakarta, Bandung, dan Makassar. "Tidak semua bahan ada di Tasikmlaya. Jadi saya suka cari ke kota besar yang lebih komplit," kata Tini.
Tak hanya merambah daerah-daerah di Indonesia, produk Arnita Collection sudah dikirim ke Malaysia dan Singapura. Ekspor bordir kebaya ini sudah dilakukan Tini sejak 2006. Dari penjualan kebaya dan suvenir bordir di dalam dan luar negeri, Tini bisa mendulang omzet Rp 30 juta per bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News