Reporter: Dupla Kartini | Editor: Dupla Kartini
Gelar Desa Tegallalang, Bali, sebagai pusat bisnis kerajinan tradisional tidak diberikan sembarangan. Selain mayoritas warganya menjadi perajin dan membuka artshop, ternyata sebutan itu tak terlepas dari segmen pembelinya yang berasal dari kalangan pebisnis.
Salah seorang perajin, Nyoman Sugita mengaku, mayoritas pelanggan yang datang memang pebisnis asal Eropa dan Asia. Mereka membeli dalam jumlah besar atau kapasitas kargo, untuk dijual kembali di negaranya. "Pembeli dari dalam negeri jarang. Kalaupun ada yang beli seperti pemilik artshop di Kuta dan Denpasar," tutur pemilik Antari Artshop ini.
Erna Kusuma pemilik Toko Iracoco mengamininya. Dia bilang, para perajin biasanya sudah punya pelanggan masing-masing. Pasalnya, setiap pembeli juga punya produk dan model favorit. "Misalnya pelanggan dari Jepang, Italia dan Prancis suka lampu hias dari rotan dan pelepah kelapa. Kalau pembeli Argentina lebih suka yang pakai kaca," papar perempuan yang sudah berbisnis kerajinan lampu selama 9 tahun ini.
Meski begitu, kata Erna, kadang-kadang ada pula wisatawan lokal dan asing yang membeli eceran untuk kebutuhan pribadi. Nah, karena jumlah barang yang dibeli berbeda, para perajin pun mematok harga jual yang berbeda pula antara pembeli skala bisnis dan eceran.
Ia mencontohkan, harga jual lampu hias berbentuk sabit ukuran terkecil sekitar Rp 50.000. Sementara, lampu hias terbesar ukuran 1,5 meter dipatok Rp 220.000. "Tapi, kalau beli eceran harganya lebih mahal 20% dibanding harga yang tadi," ujar perempuan 38 tahun ini.
Senada, Sugita bilang, untuk pembeli eceran, ia mematok harga jual lebih mahal 15% - 20% dibanding pembeli skala bisnis. Sebagai gambaran, ia membanderol satu set mozaik kaca berbentuk piring seharga Rp 45.000. Satu set terdiri dari tiga pieces dengan ukuran yang berbeda. Sedangkan, mozaik berbentuk cermin hias dilego berkisar Rp 60.000 - Rp 150.000, tergantung ukuran.
Umumnya, perajin di Desa Tegallalang membuat desain sendiri. Namun, mereka tak menolak jika pelanggan membawa model sendiri. Untuk mengerjakan pesanan, Erna dibantu 10 perajin. Lama pengerjaan tergantung jumlah pesanan dan tingkat kerumitan. Setidaknya, Iracoco bisa menghasilkan 100 pieces lampu hias dalam sebulan. "Saya bisa penuhi pesanan untuk 3 pelanggan dalam sebulan," klaimnya.
Berbeda lagi halnya dengan I Gede Sibang Aryana, pemilik Prabali Artshop yang khusus menjual ukiran hewan dari kayu albasia. Ia mengaku tidak punya perajin sendiri. Pengerjaan pesanan diserahkan kepada perajin langganannya di Bangli dan Payagan. "Saya pajang semua contoh model ukiran di kios, jadi pelanggan bisa memilih langsung," tutur pria yang kerap disapa Gede ini.
Sayang, sejak krisis utang Eropa semakin parah pada 2011, omzet perajin terus merosot. Krisis telah menyurutkan jumlah pembeli yang memang mayoritas datang dari kawasan itu.
Erna bilang, dulu, ia bisa meraup omzet minimal Rp 50 juta sebulan. "Sekarang Rp 30 juta sudah bagus," ucapnya. Sugita bahkan mengaku, omzetnya anjlok 80%, sejak delapan bulan terakhir. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News