Reporter: Handoyo, Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Sebagai alas lantai, lampit memang terkenal adem, karena bisa menyerap dinginnya lantai. Peminat lampit pun terus bertambah, bahkan hingga negeri tetangga. Alhasil, pesanan lampit naik hingga 100% sejak awal tahun ini. Produsen lampit di Kalimantan pun bisa meraup omzet hingga Rp 250 juta dari penjualan alas duduk lesehan ini.
Terbuat dari rotan, lampit cocok digunakan di daerah yang beriklim tropis. Lampit biasanya dipakai untuk alas duduk lesehan. Kemampuannya menyerap dinginnya lantai saat udara panas menjadi keunggulan tikar rotan ketimbang alas lainnya.
Tak heran, pesanan lampit pun terus berlipat. Setiap hari, Norjani, pengusaha lampit dari Amuntai Tengah, Kalimantan Selatan, bisa mengerjakan hingga 30 lembar lampit berbagai ukuran.
Ia menjual lampit mulai ukuran 1x2 m seharga Rp 80.000 hingga ukuran 3x6 m seharga Rp 720.000. Selain ukuran standar ini, Norjani juga menerima pesanan lampit berukuran besar sesuai keinginan konsumen.
Lampit buatan Norjani terbilang istimewa. Ia menggunakan jenis rotan terbaik yang biasa disebut Rotan Saga. Untuk mendapatkan rotan ini, Norjani harus belanja ke Kabupaten Paser di Kalimantan Timur.
Menurutnya, rotan yang berasal dari Kalimantan Timur lebih bagus kualitasnya daripada yang ada di Kalimantan Tengah. Rotan Saga tumbuh di hutan pegunungan. Sedangkan rotan di Kalimantan Tengah kebanyakan hidupnya di rawa-rawa sehingga mengandung banyak air dan mudah lapuk.
Salah satu cirinya, rotan-rotan yang berasal dari Kalimantan Timur memiliki warna kuning yang merata. Sementara, warna rotan asal Kalimantan Tengah cenderung kuning kehijauan. "Rotan dari Kalimantan Timur lebih kuat," ujarnya.
Harga bahan baku rotan untuk pembuatan lampit ini Rp 125.000 per bal untuk ukuran dua meter. Sedangkan rotan ukuran tiga meter harganya mencapai Rp 200.000. Satu bal rotan berisi sekitar 1.000 lonjor rotan.
Bahan baku rotan ini pertama-tama dibelah menjadi dua sampai delapan bagian. Untuk pembuatan lampit, biasanya rotan dibelah hingga ukuran lima milimeter. Setelah itu lonjoran rotan dijemur hingga kering. "Jika cuaca bagus, proses pengeringan hanya berlangsung satu hari," kata Norjani.
Agar tidak membahayakan, rotan yang telah dibelah selanjutnya diraut agar lebih halus hingga membentuk persegi empat. Proses selanjutnya adalah menyortir rotan berdasarkan warnanya. Setelah itu dilanjutkan dengan melubangi bagian tengah rotan agar mudah dianyam.
Pengusaha lampit lainnya, Trisulani Ana yang memiliki Toko Rotan di Kalimantan Selatan juga mengakui pesanan lampit yang terus meningkat terutama sejak awal tahun 2011 ini. Kenaikannya 100% dan paling banyak datang dari Pulau Jawa. Padahal, sebelumnya, ia hanya menjual lampit ini di Banjar Baru. Saat ini, Tri bisa menjual 1.000 hingga 1.500 lampit per bulan. Dulu dia hanya bisa menjual 100 tikar rotan saban bulan.
Kapasitas produksi lampit milik Tri memang besar. Pasalnya, ia sudah menggunakan bantuan mesin dalam proses pembuatan hingga pengeringannya. Sementara, perajin lain banyak yang menggantungkan sinar matahari untuk mengeringkan rotan secara alami.
Tri menjual lampit mulai Rp 90.000 seukuran sajadah hingga Rp 400.000 dengan ukuran 176x250 cm. Ia membuat dua model lampit, yakni model lipat dan gulung. Kebanyakan, pembeli memesan lampit untuk perkakas di vila, cottage hingga dipakai di rumah.
Selain dari pasar domestik, lampit juga digemari konsumen di negeri tetangga. Hanya, pengusaha lampit ini tak mengirim sendiri produknya. Mereka memasok ke reseller dari Pontianak dan Bali, yang akan menjualnya hingga luar negeri.
Norjani mengatakan pembeli dari Pontianak biasanya menjual lampit ini ke Kuching di Malaysia. "Kalau pembeli dari Bali biasanya akan memasarkan lapit ini ke Australia," jelasnya. Dengan pasar yang luas itu, Norjani bisa meraup omzet Rp 250 juta dalam sebulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News