Reporter: Noor Muhammad Falih | Editor: Havid Vebri
Usia sentra tembikar di Kiaracondong, Bandung yang sudah lebih dari 50 tahun membuat tempat ini menjadi salah satu rujukan orang untuk berburu barang keramik. Bahkan, mayoritas pelanggan justru bukan dari warga Bandung dan sekitarnya, melainkan datang dari luar provinsi dan luar negeri.
Nama sentra ini menjadi lebih populer, setelah Walikota Bandung Ateng Wahyudi meresmikan kawasan Kiaracondong sebagai sentra keramik pada era 1992. “Setelah itu, Pak Ateng membuka kran ekspor keramik Kiaracondong ke Belanda,” tutur Asep Supriatna, yang sudah berdagang keramik sejak 1985 ini. Setelah itu, kata Asep, sentra ini menjadi lebih dikenal, termasuk di luar negeri.
Sayang, karena krisis 1998 menumbangkan sebagian besar usaha perajin dan pedagang di sentra ini. Hanya satu perajin dan sembilan pedagang yang masih bertahan. Akibatnya, pasar ekspor pun kandas. Kini, mereka hanya memenuhi permintaan dalam negeri. Kebanyakan pembeli merupakan grosir yang menjual kembali keramik ke luar daerah.
Kata Asep, ia memiliki beberapa pelanggan tetap dari Surabaya, Banjarmasin dan Papua. "Semuanya pedagang grosir. Mereka ambil sendiri barang ke sini, lalu dibawa pakai truk ke daerah mereka masing-masing,” ungkapnya.
Oma Rukman mengamininya. Satu-satunya perajin di sentra tembikar Kiaracondong ini bilang, mayoritas pembelinya adalah pedagang grosir yang datang dari beberapa kota di luar Pulau Jawa, seperti Aceh, Bali dan Kalimantan. “Biasanya mereka menjual lagi guci-guci itu di tempat mereka. Kalau harga dari saya Rp 150.000 per buah, mereka bisa jual sampai Rp 300.000 di daerah,” tuturnya.
Oma tidak membatasi minimal pembelian untuk mendapatkan harga grosir. Malahan, ia tak segan memberikan harga grosir meski pelanggan hanya membeli satu guci. "Asal menutup ongkos produksi, guci akan saya lepas," ungkapnya.
Berbeda dengan Oma yang memproduksi sendiri semua keramik dagangannya, Asep dan para pedagang lain di sentra Kiaracondong memasok keramik dagangannya dari Ciranjang dan Garut, Jawa Barat. Namun, desain keramik yang mereka jual tetap mengacu pada keramik China.
Bentuk keramik yang mereka jual juga sama beragamnya dengan Oma, yaitu mulai dari guci, cangkir hingga suvenir berbentuk hewan. Baik Oma maupun Asep menyebut, harga jual khusus guci berdesain Cina kuno, tidak pasti. Soalnya, barang seperti ini tergolong hobi dan selera, sehingga harga jual tergantung hasil negosiasi penjual dan pembeli.
Meski penjualan tak seramai dulu, Oma bilang, ia masih bisa mengantongi keuntungan bersih 20% dari berdagang keramik. Sementara, Asep mengaku untung bersihnya hanya sekitar 10% dari omzet.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News