Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Tri Adi
Dian Mulyadi sudah lama mengenal lukisan kaca karena ini adalah seni turun-temurun di daerahnya. Namun, pria 30 tahun ini baru 11 tahun lalu terpikat melukis di kaca setelah mengikuti pameran. Dari pameran ini pula, ia menuai banyak pesanan. Kini, saban bulan Dian mampu menggarap puluhan lukisan kaca dengan omzet lebih Rp 30 juta.
Lukisan kaca memang memiliki ciri khas yang unik. Selain penggunaan kaca sebagai media lukisan, proses pengerjaan lukisan ini menerapkan metode melukis terbalik karena yang dilukis adalah bagian belakang kaca.
Namun, bagi Dian Mulyadi, media kaca maupun cara melukis terbalik itu tak menghambat kreativitasnya. Tangan-tangannya sudah lihai dan terampil menuangkan aneka ide pada selembar kaca. Maklum, Dian mulai melukis secara serius di media kaca ini sejak 2000 lalu.
Ia tertarik menggeluti lukisan kaca ini setelah mengikuti pameran yang diadakan berbagai kementerian.
Bakat melukis memang sudah tertanam pada diri Dian sejak lama. Pria asli Cirebon ini juga telah mengenal lukisan kaca yang menjadi budaya di daerah sekitar tempat tinggalnya.
Sampai akhirnya, tepatnya pada 2004, Dian yang makin aktif mengikuti pameran mulai menuai banyak pesanan. Setahun kemudian, ia sudah berani memproduksi lukisan secara massal dengan membentuk Sanggar Lukis Sunyaragi.
Pada 2005 itu pula, Dian mendapatkan kesempatan mengikuti tender lukisan kaca dari negeri gingseng Korea. Meski pesanan tak banyak, Dian mensyukuri kesempatan itu, karena menjadi pintu gerbang untuk menembus pasar mancanegara. "Dari situ, saya mendapat pesanan dari Singapura, Belanda, dan Jepang," ujarnya.
Saat itu, Dian mengirim 40 sampai 50 lukisan kaca tiap ada order dari luar negeri. Untuk pasar lokal, selain Cirebon, lukisan kaca Dian dijual ke Bandung, Jakarta, dan Cilegon.
Banyak orang tertarik membeli lukisan kaca, terutama lukisan wayang karena seringkali lukisan wayang dikaitkan dengan hari lahir pemesan. Alhasil, tercipta sebuah ikatan antara pemilik dan lukisan kaca.
Setiap lukisan kaca buah tangan Dian juga mengandung unsur batik khas Cirebon dengan dominasi pemakaian ornamen mega mendung dan wadasan. Mega mendung berarti langit dijunjung dan wadasan bermakna bumi atau tanah yang dipijak. Inilah perbedaan mendasar seni lukis kaca Cirebon dengan daerah lain.
Selain wayang, Dian beserta timnya di Sanggar Lukis Sunyaragi, juga melukis kaligrafi khas Cirebon dan lukisan batik. "Tapi, semua harus mengikuti pakem budaya Cirebon, yakni adanya ornamen mega mendung dan wadasan di tiap lukisan," katanya.
Namun Dian juga mengikuti selera pasar dengan melukis pemandangan, lukisan oriental khas Tionghoa seperti naga dan burung bangau. "Jarang orang melukis objek itu padahal konsumen juga butuh lukisan seperti itu," tuturnya.
Di sanggarnya, Dian merekrut anak-anak tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang memiliki hobi menggambar. "Itu merupakan kriteria utama seorang pelukis kaca," ujar Dian.
Kini, Dian mempekerjakan delapan karyawan di Sanggar Sunyaragi. Dalam sehari, sanggar miliknya ini mampu menghasilkan delapan buah lukisan kaca. Dian sendiri bisa menyelesaikan sebuah lukisan kaca dalam waktu tiga hingga empat hari.
Di sanggarnya, Dian memang harus terus meningkatkan produksi lukisannya. Maklum, kini pesanan terus mengalir. Selama seminggu, ia harus memenuhi pesanan sebanyak 60 sampai 80 lukisan kaca.
Tak heran, Dian pun bisa mengantongi omzet penjualan lukisan kaca ini Rp 30 juta per bulan. Ia mematok harga sebuah lukisan kaca yang dibuatnya secara massal berkisar Rp 15.000 sampai dengan Rp 350.000.
Adapun untuk lukisan kaca yang dipesan eksklusif, Dian mematok harga hingga Rp 80 juta per buah. Mahal tidaknya lukisan itu, tentu tergantung tingkat kerumitan dan ukurannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News