Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Tri Adi
Patung batu bukan cuma untuk menghias pura atau tempat ibadah Hindu, melainkan juga menjadi barang seni yang berharga. Pesanan juga banyak datang dari luar negeri. Perajin Batubulan dan Singapadu bisa meraup penghasilan hingga puluhan juta sebulan.
Hujan rintik membasahi patung batu yang berjajar di sepanjang Jalan Batubulan dan Singapadu, Sukawati Gianyar, Bali. Daerah yang berjarak sekitar 27 kilometer dari Bandara Ngurah Rai ini dapat di tempuh dengan mobil sekitar 45 menit.
Di wilayah ini, penduduknya memiliki mata pencaharian utama sebagai perajin dan pedagang arca batu. Dari patung batu mereka bisa menghidupi keluarga.
Ambil contoh, I Made Sukra, perajin patung batu dari Singapadu. Ia telah menimba ilmu memahat patung sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, umurnya baru 10 tahun. Dia belajar langsung dari kakek dan ayahnya.
Proses belajar memahat patung batu memang tidak gampang. Perlu kesabaran dan ketelitian. Orang tua Sukra baru melepas dirinya untuk membuat patung sendiri saat ia masuk SMP. Tapi sekarang, karya-karya Sukra sudah terbang ke seluruh penjuru Tanah Air bahkan mancanegara.
Pengerjaan masing-masing patung memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda. Biasanya, semakin sulit proses pembuatannya, harga jual patung pun bakal jauh lebih mahal. "Yang paling lama itu membuat patung Dewi Saraswati dan Ganesha. Sebab, tangannya ada empat, jadi lebih rumit pengerjaannya," ungkap Sukra.
Pembuatan patung Dewi Saraswati dan Ganesha dengan tinggi sekitar 1,5 hingga 1,75 meter membutuhkan waktu pengerjaan minimal satu sampai dua bulan. Harga jualnya Rp 15 juta sampai Rp 25 juta.
Karena itu, untuk patung yang proses pembuatannya rumit, Sukra memilih menunggu pesanan. Dengan begitu, waktunya tidak terbuang percuma. Selain itu, peminat patung Dewi Saraswati maupun Ganesha biasanya kalangan khusus. Misalnya, untuk keperluan bangunan ibadah agama Hindu dan gedung kesenian, atau orang yang benar-benar gemar dengan patung.
Nah, agar hasil pahatannya bisa mendatangkan duit, Sukra mengerjakan patung yang banyak diminati masyarakat luas. Contoh, patung kera dalam kisah Ramayana, patung kodok, atau patung kontemporer yang biasa dipakai untuk menghias kolam ikan, kolam renang, atau taman.
Untuk patung-patung kontemporer, rata-rata perajin di kawasan Batubulan dan Singapadu tidak mematok harga jual yang mahal. Untuk patung dengan ukuran 1 hingga 1,5 meter, harganya hanya Rp 3,5 juta saja.
Pembelinya kebanyakan dari luar Bali, seperti Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Ada juga beberapa pembeli dari luar negeri.
Pembeli asing umumnya membeli untuk keperluan koleksi pribadi, bukan tujuan komersial seperti dijual lagi. "Contohnya, akhir Januari 2011 lalu, saya mengirimkan tiga patung ukuran 1 meter hingga 1,5 meter ke Amerika Serikat," terang Sukra.
Pembeli harus menanggung ongkos kirim barang. Sukra mencontohkan, untuk tujuan Negeri Paman Sam, ongkos kirimnya sekitar US$ 250 per kubik. Sedangkan, untuk pengiriman ke Jakarta, biayanya Rp 600.000 per kubik.
Perajin rata-rata tidak mengambil untung banyak dari patung hasil pahatan mereka. Semisal, untuk patung berukuran 0,75 sampai 1 meter membutuhkan bahan berupa batu ataupun batu cadas. Harga bahan baku batu untuk pembuatan patung dengan ukuran ini sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.
Kemudian, pekerjaan pemahatan hingga menjadi patung yang halus, biasanya butuh waktu sekitar 10 sampai 15 hari. Tetapi, "Kami menjualnya dengan harga Rp 3 juta hingga 3,5 juta, hitung-hitung yang Rp 1,5 juta-Rp 2 juta untuk ongkos pengerjaan," ujar Sukra.
Tapi, penghasilan dari memahat dan menjual patung tak bisa rutin. Ada kalanya bisa laku belasan hingga puluhan juta per bulan. Kadang sebulan tidak ada penjualan sama sekali.
Meski begitu, Sukra bersyukur masih bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga bangku kuliah. "Satu sudah menikah, dan satu masih sekolah di Denpasar," katanya.
Musim sepi
Niluh, penjaga salah satu galeri patung batu di kawasan Batubulan, menuturkan, kalau sedang banyak pesanan, biasanya ada beberapa perajin yang bekerja di galerinya. "Akhir-akhir ini kami tidak mempekerjakan perajin karena stok patung masih banyak, sementara order relatif sepi," kata Niluh sambil tetap memberikan penjelasan kepada tiga tamu bule asal Australia yang tengah melihat-lihat patung batu di galerinya.
Biasanya, Niluh mengungkapkan, penjualan patung di kawasan Batubulan dan Singapadu akan melonjak saat musim libur tiba. Yakni Juni, Juli, Agustus, dan Desember. Di luar bulan-bulan itu, sepi pembeli.
Wayan Pugeg, perajin asal Singapadu, juga mengakui saat ini merupakan musim sepi penjualan. Saat seperti sekarang, ia juga sering meminjamkan karyanya untuk ikut pameran di luar daerah dan luar negeri.
Pasalnya, "Ikut pameran sendiri itu repot, kalau teman ada yang pinjam silakan saja, nanti juga kecipratan order," kata laki-laki paruh baya yang pernah ikut membangun anjungan Bali di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Sebagian perajin patung batu Batubulan dan Singapadu ada juga yang pilih menjalin kerjasama dengan perajin di Yogyakarta. "Mereka menyuplai bahan baku batu cadas putih, lalu kami yang membuat patungnya," jelas Pugeg. Patung hasil pahatan itu lalu dijual di Yogyakarta. Dari kongsi ini, perajin Bali bisa menikmati ongkos pembuatan. Lumayan untuk bertahan, ya, Bli...!.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News