kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45910,25   6,92   0.77%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Memahat wayang hingga tokoh agama (2)


Senin, 23 Agustus 2010 / 10:25 WIB
Memahat wayang hingga tokoh agama (2)


Reporter: Anastasia Lilin Y (Magelang) | Editor: Tri Adi

Jika Anda berpesiar ke daerah Jawa Tengah, dan melintasi Jalan Raya Muntilan-Magelang, coba saja mampir ke sentra pahat batu. Di sana berdiri puluhan galeri seni pahat. Berbagai wujud patung dari batu dipajang di depan galeri. Setiap patung terbuat dari satu batu utuh, dan ada yang setinggi hingga dua meter lebih.

Budaya peninggalan kerajaan Mataram pada masa Dinasti Syailendra masih sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat sekarang di tempat itu. Hal tersebut bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat sekitar Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang menggantungkan hidupnya pada seni kerajinan pahat batu.

Mereka memahat batu dari batuan vulkanik beku atau andesit Gunung Merapi, menjadi berbagai bentuk patung. Kemampuan memahat batu ini didapat masyarakat secara turun-temurun.

Sebagian besar masyarakat yang menekuni profesi tersebut berdomisili di Kecamatan Muntilan, Magelang. Saat ini, jumlah pemahat batu di sana lebih dari 500 orang. Mereka terdiri dari kalangan usia muda hingga berusia lanjut.

Selain patung berwujud Budha yang sangat kesohor, para pemahat batu membuat aneka bentuk lain patung. Misalnya, Sabarudin, seorang pemahat batu di sentra ini. Dia membuat patung berkarakter tokoh-tokoh pewayangan Jawa dan tokoh cerita epos, seperti Ramayana dan Mahabharata.

Awal Juli lalu, saat KONTAN berbincang-bincang dengannya, Sabarudin tengah membuat tokoh yang disebut Gupala. Tokoh ini adalah salah satu karakter dalam cerita Jawa yang bertugas menjaga rumah.

Wujud Gupala bertubuh tambun dan memegang pentungan di tangannya. Biasanya, Gupala dibuat sepasang dan diletakkan di kanan dan kiri gapura atau pintu masuk. Selain Gupala, Sabarudin juga memajang patung Ganesha serta patung Rama dan Shinta di galerinya.


Dia mengakui memerlukan waktu bertahun-tahun agar dapat memahat dengan kemampuan yang mumpuni. "Saya baru merasa benar-benar bisa memahat setelah 10 tahun menekuni usaha ini," ungkap pemilik Sanggar Argo Selo tersebut.

Menurut Sabarudin, memahat patung tidak hanya membutuhkan kemampuan memahat dan menghaluskan batu. Sang pemahat juga mesti paham betul karakter patung yang dibuatnya.

Pandangan Sabarudin ini diamini Elis Widayati. Pemilik Gama Stone Art ini bilang, jika pemahat tidak memahami karakter dan cerita filosofi di balik patung yang dibuat, maka produk yang dihasilkan tidak bagus.

Namun, menurut wanita berusia 50 tahun itu, tidak ada ritual khusus yang harus dijalani para pemahat saat membuat patung. Hanya dibutuhkan faktor ketenangan batin dan kehati-hatian.

Selain patung Budha, Elis juga banyak memajang patung yang menjadi ciri khas pemeluk agama Khong Hu Cu. Antara lain, patung Dewi Kwan In dan patung Ki Lin. Ada juga patung yang menggambarkan shio dalam perhitungan tahun etnis Tiongkok.

Berdekatan dengan galeri Sabarudin, berdiri galeri Zenvin. Galeri milik Zaenal ini dipadati koleksi patung, ada juga meja, kursi, dan peralatan dapur yang terbuat dari batu.

Menurut Supriyatno, staf Galeri Zenvin, para pemahat selalu menyesuaikan ukuran batunya saat membuat patung. Karena itu, galerinya memiliki koleksi patung Yesus setinggi 2,5 meter (m). Ada juga patung Ganesha setinggi 2 m. "Waktu masih berupa batu, ukurannya lebih besar dari patung," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×